19 (papa jangan pergi)

1.7K 138 103
                                    

Rumah Sakit Umum Daerah Bayu Asih Purwakarta menjadi tujuan Deva saat ini. Setelah mendengar kabar tentang Fahri, Deva langsung bertanya kepada Ali, ayahnya Irsyad, untuk memastikan keberadaan Fahri. Tanpa membuang waktu, Deva segera mengendarai motornya dengan kecepatan maksimal.

Satu jam kemudian, Deva tiba di rumah sakit. Tanpa menghiraukan motornya yang terparkir, ia langsung melepas helm dan berlari menuju resepsionis. Pikiran Deva hanya terfokus pada Fahri, tak peduli dengan keadaan dirinya.

Mata Deva bengkak sepanjang perjalanan, dan kedatangannya pun menarik perhatian staf rumah sakit. Namun, Deva sama sekali tidak peduli dengan itu.

"Mahendra Sabil Al Fahri berada di sini?" tanya Deva dengan suara terburu-buru.

"Maaf, maksud mas apa ya?" jawab resepsionis bingung.

"Begini, teh, ruangan Pak Mahendra di mana ya?" tanya Irsyad yang tiba-tiba muncul di samping Deva.

Deva mengelus dadanya mendengar suara Irsyad. Irsyad malah tersenyum tanpa dosa, menikmati kejutan yang diberikan pada Deva.

"Pak Mahendra berada di ruangan ICU," jawab resepsionis.

Deva langsung meninggalkan meja resepsionis tanpa mengucapkan terima kasih. Ia mencoba menenangkan diri, meskipun rasa takut semakin mendominasi dirinya.

"Papa tidak boleh pergi," batin Deva kalut.

"Hey Dev, tenanglah," ucap Irsyad.

"Setan," jawab Deva dengan kesal.

"Oi, gua anak bontot yang ganteng, ya, bukan setan!" balas Irsyad kesal, namun masih dengan senyuman.

"Terserah," jawab Deva dengan acuh.

Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ruangan ICU. Ruangan ICU cukup jauh, dan sepanjang jalan, Irsyad memperhatikan wajah Deva yang semakin pucat. Ia khawatir Deva akan terpuruk seperti saat kematian ibunya. Begitu tiba di depan ruangan ICU, Ali dan Roy sudah menunggu, terdiam melihat sosok Deva yang datang.

"Dev!" seru Roy kaget.

Deva hanya diam saja, lalu duduk di depan ruangan ICU, memeluk kedua lututnya. Irsyad mencoba menarik tangan Deva untuk berdiri, namun Deva melepaskannya dengan keras.

Roy mendekat dan mencoba membujuk Deva untuk berdiri, namun Deva tetap fokus menatap ruangan ICU.

"Deva, kita duduk saja di kursi," bujuk Roy.

"Aku tidak mau kehilangan papa," lirih Deva dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Fahri akan bertahan. Dia orang yang sangat kuat. Kamu harus yakin papamu akan berhasil melewati ini semua, Dev," ujar Roy dengan lembut.

"Om bohong," lirih Deva.

"Om selalu menepati janji," ucap Roy, berusaha meyakinkan Deva.

"Saat mama tertembak waktu itu, kata om mama akan selamat, ternyata dia pergi bersama adikku," lirih Deva, menahan tangis.

Roy tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya bisa duduk di sebelah Deva, membiarkan keponakannya itu menatap dalam diam ke arah ruangan ICU.

"Trauma mengenai kematian Bella sangat membekas di ingatanmu, Dev," batin Roy, melihat kesedihan yang masih menggelayuti Deva.

"Lu makan belum, Dev?" tanya Irsyad dengan cemas.

"Ekhem, dek, bahasamu," nasihat Ali dengan tegas.

"Hehehe, maaf, ayah, aku khilaf," ucap Irsyad sambil tertawa kecil.

"Kalian berdua makan siang saja. Masalah Fahri ada aku dan bang Roy di sini," ujar Ali dengan lembut.

"Papa," lirih Deva, masih fokus menatap pintu ruangan ICU.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang