11 (iri)

2.5K 161 43
                                    

Liburan sekolah tiba, Deva baru saja pulang bersama Fahri usai mengambil rapor di sekolah. Deva mendesah kesal sepanjang perjalanan, teringat ceramah wali kelasnya yang terus-menerus membandingkan dirinya dengan adik sepupunya, Arif, yang berada di kelas unggulan.

“Jadi kita ke Yogyakarta?” tanya Fahri, mencoba mencairkan suasana.

“London saja,” jawab Deva singkat.

“Baiklah, papa urus semuanya dulu,” ucap Fahri santai.

“Jangan lupa, janji papa itu aku tagih,” balas Deva, menekankan nada serius.

“Tidak masalah. Mau sekalian tambah negara tujuan, mungkin?” tawar Fahri.

“Enggak usah, itu saja cukup,” ucap Deva cepat.

“Papa balik ke kantor dulu ya,” ucap Fahri sambil meraih kunci mobil.

“Nitip martabak manis rasa keju sama cokelat. Minumnya es cendol!” pekik Deva, memanfaatkan kesempatan.

“Di kulkas masih ada makanan beku, hangatkan saja. Kalau kurang, pesan makanan dan suruh mereka tagih ke kantor papa,” ujar Fahri sambil tersenyum.

“Tenang, uang Dev masih banyak, kok, pah,” balas Deva.

“Papa kira sudah habis,” jawab Fahri terkekeh.

“Oh iya, pah, Dev izin nongkrong nanti sore. Pulangnya papa jemput, ya?” pinta Deva.

Fahri tersenyum, lalu mengelus lembut surai rambut Deva sebelum pamit. “Jangan lupa kunci rumah, ya.”

Setelah Fahri pergi, Deva langsung menuju kamar. Ia mengganti kemeja sekolahnya dengan hoodie merah tanpa lengan dan celana training hitam yang nyaman. Ia lalu membuka ponselnya, memulai sesi game online bersama teman-temannya.

Setelah puas bermain, Deva keluar dari game sejenak untuk menjalankan kewajiban, lalu memutuskan tidur siang untuk mengisi energinya.

Sore harinya, Deva bangun, lalu segera mandi, melaksanakan kewajiban, dan bersiap untuk pergi ke tempat biasa ia berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Bukannya mengendarai motor, ia memilih naik taksi karena malas membawa kendaraan sendiri.

Tujuan Deva adalah Café Kenangan Mantan, tempat nongkrong favoritnya bersama sahabat-sahabatnya. Sesampainya di sana, ia langsung memilih tempat duduk kosong, mengamati beberapa pemuda seusianya yang asyik bercengkerama di sudut lain. Tak lama, satu per satu sahabat Deva mulai berdatangan.

“Udah makan belum, lu?” tanya Hamiz sambil duduk.

“Belum,” jawab Deva singkat.

“Dasar! Udah tahu punya maag, masih aja telat makan,” kesal Sandy.

“Rian, pesenin makanan buat Deva,” pinta Leo sambil menunjuk Rian.

“Sekarang, gitu?” tanya Rian dengan nada santai.

“Ya bukan. Tahun depan!” kesal Leo, sarkas.

“Oh, ya udah, kalau tahun depan sih,” balas Rian cuek.

“Ck, sekarang, lah!” bentak Leo.

“Biar aku aja yang pesan,” potong Atha sambil memanggil pelayan.

Atha memesan seporsi makanan untuk Deva sekaligus minuman untuk semuanya. Walau Atha adalah yang termuda, ia sering menunjukkan sikap dewasa di saat-saat yang dibutuhkan.

“Atha aja peka, lu kapan bisa peka, sih?” sindir Leo kepada Rian.

“Gue pikir beneran tahun depan tadi,” jawab Rian santai.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang