05. Hormon Endorfin

1.2K 98 4
                                    

Queen nyengir canggung saat menyadari dirinya menjadi objek perhatian banyak pasang mata. Dia pun membawa kakinya pelan begitu mereka tak acuh lagi atas kekacauan yang dirinya buat sesaat lalu. Menghampiri meja Helmy dan Ammar.

"Boleh duduk di sini, Akhi?" tanyanya dengan kedua pipi yang masih menghangat.

Helmy dan Ammar bersitatap sebelum akhirnya Ammar bersuara, "Iya. Silakan."

Diawali seutas senyum, Queen pun menyinggahkan pantatnya di kursi kosong yang ada.

"Nanti adikku ke sini buat menemui kamu," ujar Helmy usai menghabiskan sarapannya yang tinggal separuh, meneguk air putih.

Masih mengunyah, Queen menyempatkan menelan unyahannya perlahan.

"Iya, Akhi," sahutnya, melirik Helmy, "Cewek atau cowok?"

"Cewek. Namanya Bita."

Kepala Queen mengangguk.

"Aku sudah kasih nomormu ke Bita. Nanti kalau Bita sampai sini, Bita bakalan menghubungi kamu." Helmy mengelap bibirnya dengan tisu.

"Hmm .... " Mulut Queen masih penuh dengan nasi. "Siap, Akhi."

"Yang lain udah pada di ruang meeting. Di grup udah ada pemberitahuan, Hel. Lima menit lagi dimulai acara penutupan," kata Ammar seraya kedua matanya khidmat menatap ponselnya di meja.

"Ya udah kita sebaiknya buruan ke sana." Helmy menghabiskan sisa air putih di gelas.

Kepala Ammar mengangguk. Sebelah tangannya terulur meraih ponsel, menyimpannya ke saku kemeja.

"Kuni, kita pergi dulu. Penutupan seminar sebentar lagi dimulai," pamit Helmy. Dari berkenalan tadi malam, dia memilih memutuskan memanggil Queen dengan Kuni, nama aslinya.

"Iya, Akhi. Aku bakal sabar nungguin kamu." Queen nyengir.

Ammar batuk-batuk untuk meledeki sahabatnya itu. Dari awal dia sudah peka usai soal terkaan menikahi yang keluar dari mulut Queen di tadi malam bahwa Queen cukup tertarik dengan Helmy.

Merasa diledeki, Helmy melirik Ammar dengan menahan sebal, bahkan dari tadi malam Ammar terus-terusan meledekinya kalau katanya Queen naksir dia. Aduh, dia tidak percaya itu. Dia paham, Queen riang begitu kalau pada dirinya sebab Queen merasa dirinya telah berjasa atas menyelamatkan Queen, tidak lebih dari itu.

"Semangat, Akhi!" Queen mengepalkan sebelah tangan dan mengangkatnya ke udara. Senyuman merekah indah.

"Hmm." Sahutan singkat yang keluar dari mulut Helmy. Sebenarnya dia bingung jika berinteraksi dengan Queen, dia takut berlebihan dalam mengambil sikap.

"Kita pergi dulu ya, Queen. Besok kalau sudah masuk pesantren, insha Allah aku sama istriku sempetin jenguk kamu."

Mendengar kesaksian itu, kedua mata belo Queen melebar.

"Wow! Kamu sudah punya istri, Akhi? Kukira masih single."

Bibir Ammar tersenyum lebar.

"Sudah punya istri, Queen. Yang masih single mah ..." Omongan Ammar mengambang, sengaja mau meledeki sahabatnya satu ini, tatapannya teratensi penuh ke arah Helmy.

Otomatis, kedua mata belo Queen ikut-ikutan alur atensi Ammar. Perlahan, hatinya tiba-tiba menghangat sebab menjadi merasa masih ada harapan untuk menjadikan Helmy imam hidup. Sekonyong-konyong, dia jadi bertekad mau mesantren yang sungguh-sungguh untuk memantaskan diri bersanding dengan Akhi Helmy.

Helmy menimpali tatapan Ammar dengan muka menahan sebal. Ingin sekali dia menegur Ammar secara langsung begini; Bisa nggak, Mar, jangan ngeledeki aku terus? Bentar lagi juga aku mau ngelepas masa lajang, mau menikah sama Qumi, jadi jangan ngeledek-ngeledekin aku sama Kuni. Jugaan Kuni nggak naksir aku!

Queen Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang