17. Malaikat & Iblis

878 78 8
                                    

Tidak ada hidup yang benar-benar ideal, semua manusia memiliki sisi ketidakidealannya sendiri-sendiri.

Dulu, Queen selalu iri melihat mereka yang hidupnya tampak begitu mudah dan seperti tidak ada beban berat yang dipikul pundak mereka, sedangkan dirinya malah sebaliknya.

Queen pernah merasakan hidupnya sebegitu patah, kosong, kehilangan motivasi hidup hingga dirinya mengutuk takdirnya yang amat buruk, berakhir koneksinya dengan Sang Maha Pencipta hampir terputus, hampir saja kehilangan iman.

Dia sudah beberapa kali hendak bunuh diri sebab terlampau putus asa. Salah satunya saat itu, saat guntur membawa simponi malam, dia sudah berdiri tegak di atap sebuah gedung berlantai 5, mendongak menatap langit yang hitam pekat, memejamkan mata menikmati desiran angin yang menusuk sum-sum tulangnya, perlahan kembali membuka kelopak mata, menatap jalanan di bawah yang penuh oleh kerlip lampu jalanan kota. Membayangkan dirinya jatuh ke bawah sana, tubuhnya remuk dengan darah mengucur deras, di pagi kemudian terdapat kabar berita perihal bunuh dirinya.

Itu akhir yang amat mengenaskan. Pada akhirnya dia menangis deras tanpa suara. Di lubuk hati paling dalam, dia jelaslah ingin bahagia, dia tidak bisa memungkiri bahwa sebenarnya dia enggan cepat mati, tetapi rasa lelah akan rasa sakit hidupnya yang dijalaninyalah yang membuatnya ingin bunuh diri.

Bunuh diri bukan sebab dirinya ingin segera mati, melainkan karena dia ingin sesegera mungkin mengakhiri penderitaan yang tak kunjung berakhir. Dia sudah lelah. Dia ingin beristirahat. Dia stres. Dia kesepian karena merasa tidak memiliki siapapun di dunia untuk menjadi sandaran, melepas sejenak dari rasa penatnya hidup, mengisi energinya yang habis dengan sebuah dukungan dan kasih sayang.

Hidupnya tidaklah layaknya drama Korea, di mana saat adegan bunuh diri di atas atap gedung tinggi atau Sungai Han, bakalan ada seseorang yang mencegahnya. Tidak. Saat itu tidak ada siapapun yang datang mencemaskannya. Tapi akhirnya dia sadar, dia harus menyelamatkan dirinya sendiri.

Queen menarik kedua kakinya ke belakang. Berteriak sampai tenggorokannya sakit. Menangis tanpa suara lagi. Aku hanya pengin bahagia, tapi kenapa sesulit ini, Tuhan?

Sekon kemudian, gerimis menghujamnya. Dia memeluk dirinya sendiri. Dia memilih bertahan--walau hanya dengan hidup asal-asalan.

"Kamu cewek hebat, Queen. Sudah selama ini kamu bersabar, aku yakin ... nanti kamu bakalan dapetin mutiara paling indah yang pernah ada," ujar Sana seraya mengelus sebelah bahu Queen yang tetap fokus mengendarai motor.

Mereka berdua sudah mengambil pesanan buntil Ummi Maftuhah, segera kembali ke pesantren. Di perjalanan itu, Queen menceritakan sepenggal kisah hidupnya pada Sana.

"Aamiin, San. Makasih ya ...," sahut Queen sembari melirik Sana sejenak dari kaca spion motor.

"Makasih buat apa?" Sana malah mengernyit bingung.

Bukan menjawab, Queen tertawa renyah.

"Makasih karena udah mau dengerin ceritaku. Makasih karena udah jadi tempat buat aku curhat," jelas Queen yang langsung mendapat ulasan senyum Sana yang disaksikannya lewat kaca spion.

"Makasih juga, Queen."

Kini Queen yang mengernyit. "Makasih buat apa?"

Tinggal Sana yang tertawa kecil.

"Makasih karena telah datang ke kehidupanku," jelasnya, membuat kening Queen melipat samar sebab masih bingung arah pembicaraan.

"Suatu saat nanti, aku bakalan cerita ke kamu. Kamu mau jadi pendengar ceritaku, Queen?"

"Mau banget, San. Kapanpun, aku bersedia jadi pendengar ceritamu," timpal Queen yang mulai paham arah pembicaraan.

Tentang sesuatu. Sesuatu yang selalu dipendam rapat-rapat, tapi sebenarnya ingin dibagikannya pada seseorang untuk meringankan beban yang dipikulnya. Bukan agar seseorang itu mau ikut campur untuk menyelesaikan masalahnya. Bukan. Melainkan hanya cukup untuk didengarkan ceritanya. Karena hanya didengarkan dengan baik, itu sudah cukup meringankan beban, merasa ada yang bisa memahami dirinya. Sesimpel itu saja. Asalkan satu ... Si Pendengar tidaklah berakhir adu nasib seperti "Ya elah, gitu doang mental kamu dah down. Nih, hidup aku lebih susah tahu! Derita kamu ini mah nggak ada apa-apanya. Makanya, jadi orang jangan baperan atuh!". Hmm, yang begitu bukan membuat hatinya sedikit lega, justru tambah terbebani. Bagaimanapun, mental seseorang beda-beda, jadi kita harus pandai-pandai memahami dan memaklumi.

Queen Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang