19. Sisi Lain Sana

792 57 0
                                    

Sana merasa dirinya tidaklah dianggap oleh kedua orangtuanya walau nyata kandung. Dia anak pertama, awalnya keluarga kecilnya begitu bahagia. Hidup di sebuah desa dengan rumahnya berada di pinggiran sawah milik keluarganya.

Sana kecil begitu menyukai bermain berlari-lari di pematang sawah bersama kedua temannya, kadang diteriak-teriaki oleh Mama agar tidak bermain kejar-kejaran di pematang, takut jatuh dan mencebur ke dalam sawah. Namun, dia nakal tak mau mendengar, kian berlari lebih keras, sesekali tertawa, berakhir Bapak menghadangnya dari lain arah dengan mencoba menakut-nakutinya menggunakan cacing, barulah dia menurut, temannya ikut manut.

"Daripada kecoa, aku justru takut cacing," kata Sana, bibirnya menyinggung senyum.

Tengah malam yang dingin, pondok mulai sepi, tinggal beberapa yang tampak masih melek untuk beraktivitas.

Sana tidak bisa tidur. Dia ketindihan berulang kali. Akhirnya beranjak wudhu, kembali ke atas kasur lipatnya di kamar, bukan kembali terlelap, melainkan malah melamun. Hingga kepergok Queen yang ngelilir, mendapati Sana menangis tanpa suara. Queen beranjak bangun untuk mencoba menenangkan Sana, berakhir Sana membagikan cerita masa kecilnya ini.

"Cacing memang bikin geli-geli gimana sih kalau baru liatnya aja," sahut Queen yang langsung mendapatkan respon Sana, "Iya, 'kan? Bikin kayak geli-geli gimana gitu. Tapi nyebelin, dulu aku justru pernah dikado sekotak cacing saat SD oleh temen sekelas pas ultah."

"Uh, sekotak cacing. Pasti kamu takut banget dan nangis pas buka itu," pojok Queen sambil menunjuk Sana yang berada di sebelah, bibirnya mengembang, tersenyum jail.

"Jelas nangis, sehabis itu muntah-muntah, dan sakit selama 3 hari," ungkap Sana dengan penuh antusias. Kenangan kala kelas 3 SD itu memang tak akan pernah bisa dilupakannya. Sejujurnya dia sakit hanya setengah hari, tetapi masih trauma dengan cacing sebanyak yang dikadokan, dia pura-pura masih sakit untuk absen lebih lama, juga faktor masih kesal dengan teman sekelas.

Tawa ringan Queen pecah. Mendapat tepukan di bahu agar tertawa jangan terlampau renyah karena yang ada di kamar, semuanya sudah tidur kecuali mereka berdua.

"Terus gimana lagi?" gali Queen kala tawanya mereda.

"Ya udah sih, gitu aja." Sana menggaruk tengkuknya yang gatal. "Enaknya tuh kalo main-main di sawah, nanti ikut makan siang para pekerja sawah di gubukan. Itu momen paling dinanti, ikut rusuh makan, apalagi kalo menunya pesmol ikan nila, huh, raos pisan euy!"

Kepala Queen manggut-manggut. Membayangkan momen demikian sekenanya. Pasti seru! batinnya.

"Kapan-kapan kamu main ke rumah nenekku. Pesmol ikan nila buat nenek pokoknya paling enak sedunia."

"Siap! Siap! Kapan-kapan kalo lagi liburan pesantren."

Malam kian matang.

Sana melanjutkan kembali cerita masa kecil itu. Namun, bukan kisah bahagia yang kini dirinya ceritakan pada Queen. Bukan lagi perihal teriakan Bapak yang membuatnya bahagia kala bermain di pematang sawah bersama teman. Bukan lagi perihal Mama yang kerap mengelus kepalanya lembut di saat hendak tidur dengan mengucapkan doa-doa terbaik.

Sana menghela napas berat untuk memulai bagian kisah yang kerap menjadikannya seperti mimpi buruk di siang bolong. Sisa hidup yang beralih terbalik dari sebelumnya, suram, penuh ketakutan.

Hidup bahagianya berubah drastis, kala adik pertamanya lahir ke dunia. Dia menjadi sosok kakak yang jahat bagi adiknya di mata Bapak dan Mama, hingga kedua orangtuanya itu membencinya sedemikian dalam.

***

Rehan terlahir dengan kelainan kromoson. Dia mengidap down syndrome, serta autis.

Kelahiran Rehan mengubah begitu banyaknya kehidupan Sana. Apalagi kala Rehan mulai tumbuh besar dan sekolah dasar di SLB (Sekolah Luar Biasa), sebagian teman-teman Sana tak segan mengolok-ngolok adiknya. Melakukan pelecehan verbal perihal wajahnya yang beda dari anak seumurannya di desa, khas anak down syndrome; seperti telinga lebih kecil, profil wajah datar, kepala yang rata, mata miring ke atas, hingga lidah menonjol lebar. Sampai-sampai, ada yang menjulukinya Manusia Aneh, bahkan Monster.

Sana kerap mendapatkan pecutan rotan dari Bapak begitu beliau mendegar olok-olokan tersebut dari teman Sana. Menyalahkan Sana atas perlakuan teman-temannya itu, sesekali mengumpat dengan keras, "Anak Bodoh!'.

Hidup Sana amat tertekan. Sejak kelahiran Rehan, dia juga banyak disalahkan kala Rehan mendadak menangis. Dia yang selalu disalahkan oleh Mama, mendapatkan hukuman mencuci pakaian serumah. Belum lagi sikap Bapak yang berubah temperamen kepadanya.

Sana mencoba memahami keadaan. Memahami Bapak dan Mama dengan perlakuan yang ada adalah bentuk kasih sayang dan menjaga Rehan sebegitu kuatnya. Dia juga mencoba memahami posisinya sebagai sosok kakak Rehan satu-satunya yang seharusnya bisa menjaga Rehan, tetapi nyatanya gagal. Berakhir mencoba memahami setiap wajah masam Mama atau cambukan rotan Bapak. Namun, sampai sekarang, dia belum bisa memahami keadaan bahwa kenapa dirinya dijadikan bagai anak tiri atau bahkan anak buangan, benalu, sampai-sampai tega menyuruhnya hidup bersama nenek saat kelas 6 SD sampai detik ini.

"Sejak saat itu, aku jarang ketemu Rehan. Mama dan Bapak, membawa Rehan pindah ke kecamatan lain. Palingan ketemu saat lebaran aja. Aku nggak bisa paham kenapa mereka berubah sedrastis itu dan menelantarkanku begini." Sana menyeka air matanya yang membasahi pipi.

"Aku nggak pernah marah pada Mama dan Bapak, apalagi sama Rehan. Namun, aku selalu berharap, keluarga kecil kami bisa kembali rukun seperti sediakala. Aku rindu sosok Mama dan Bapak yang dulu," imbuhnya. Air matanya tumpah ruah. Menangis dalam diam seraya menyembunyikan roman wajahnya dengan telengkupan kedua tangan.

Queen beringsut memeluk punggung Sana. Mengelus pundak untuk menguatkan. Membiarkan Sana menumpahkan segala emosinya dengan air mata.

Queen paham kini, kehidupan Sana tidaklah seideal yang awalnya dia kira. Sana yang kerap riang, nyatanya menyembunyikan kesedihan suram penuh susah payah. Sana benar-benar setegar karang. Walau demikian, Sana bisa hidup sebaik mungkin, tidak asal-asalan seperti dirinya.

Air mata Queen ikut menitik. Sungguh, dirinya adalah golongan orang yang merugi. Terlampau putus asa membuatnya gelap mata, menyalahkan takdir, padahal begitu banyaknya orang di luar sana yang menanggung beban berat seperti dirinya dengan variasi berbeda. Dia lupa. Tepatnya dia sungguh melupa selama ini; bahwa Allah tidaklah pernah salah memilih pundak hamba-Nya untuk memikul beban seberat apa. Sang Maha Kuasa selalu memberikan cobaan pada hamba-Nya sesuai kadar kemampuan.

Jika kata Kartini; habis gelap terbitlah terang. Maka sudah jauh begitu lamanya sebelum itu, Allah SWT menyerukan; inna ma'al 'usri yusro, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, dalam surah al-Insyirah. Karena itu, kita nggak boleh sedih terlalu larut. Queen mencoba mengingat kembali sebagian nasihat bijak Ibu Panti.

Queen tenggelam dalam syahdu malam yang membuatnya kian sadar bersama cerita Sana. Dia tak mau lagi putus asa terlalu larut sebab laa tahzan innallaha ma'ana, bahwa janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.

Dia harus meneladani sikap Sana yang setegar karang dan percaya bahwa kesabaran yang ada akan membuahkan hal terindah untuknya di ujung penantian.

Dengan basahan air mata di pipi, mereka berdua tersenyum dengan senyuman terbaik. Percaya bahwa akan ada kado spesial dari Allah yang diberikan kepada mereka atas kesabaran yang mereka tanam.

________________

Queen Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang