15. Ragam Kemungkinan

837 81 9
                                    

Apakah diri ini cukup berarti bagi orang lain? Atau mungkin, apakah diri ini cukup berharga bagi suatu hal?

Queen kerap memikirkan hal demikian. Kehidupannya yang berantakan menjadikannya berpikir sejauh itu. Kehidupannya yang terlampau banyak lara dan tak kunjung mendapat penyembuh menjadikannya memanipulasi perasaannya sendiri dengan mengklaim bahwa dia adalah manusia paling sial sedunia. Saking putus asanya, kadang dia juga terlintas ingin bunuh diri, mati, selesai sudah semua derita memuakkan yang ada.

Tapi nyatanya prosesi bunuh diri itu tak pernah terjadi karena sejatinya dia masih memiliki sisa waras dengan berpikir jernih kalau setelah bunuh diri dan mati, derita itu tak akan sirna begitu mudah, adanya justru terkena adzab akibat bunuh diri.

Ah, kenapa dunia ini begitu kejam? Queen bahkan berpikiran lebih parah: kenapa Tuhan begitu kejam bagi sebagian hamba-Nya? Tidakkah dunia dengan segala makhluk dan furnitur lain yang ada di semesta kadang tampak seperti sebatas permainan Tuhan? Sebenarnya apa motif Tuhan membuat alam semesta?

Begitulah. Pikiran manusia putus asa memang bisa sedemikian brutal hingga kadang menyalahi kode etik sangka-sangkanya pada Sang Tuhan.

"Kamu tadi malem, nyubit kakinya Mbak Jess, Queen?" tanya Sana di sela mereka berdua sarapan bersama.

"Iya, San. Atuh dianya nggak sopan banget, masa bangunin aku pake kaki. Ya aku marahlah. Memangnya aku sapi?" sahut Queen dengan mulut penuh dengan nasi dan ikan kranjangan.

Tadi pagi, tepatnya sekitaran jam 3 waktu tahajud, Queen kesal karena sedang enak-enaknya tidur, malah dibangunkan seseorang dengan kaki.

Kronologinya, tadi malam Sana mengajak Queen tentang sesuatu yang berbeda; yaitu mengajak Queen tidur di mushola santriwati. Tak lain, mushola santriwati jika malam datang, begitu takror selesai bakalan penuh oleh santriwati yang hijrah untuk tidur karena jikalau tidur semua di kamar, bakalan tidak muat. Setiap jam 3 pagi bakalan ada Mbak-mbak yang membangunkan untuk tahajudan. Yang bertugas membangunkan ini bergilir dari personel kamar satu ke kamar selanjutnya, begitu terus, dan tadi malam giliran kamarnya Jessi.

Jessi itu sudah jadi hobi kalau membangunkan seseorang memakai kaki, bukan tangan, tapi sejauh ini tidak ada yang berani menentang Jess atau memberi pelajaran Jess karena memang dia adalah satu santriwati paling ditakuti di Bustanul Hidayah. Bukan ditakuti karena wajahnya seram. Bukan. Wajah Jess cantik, tapi perangainya keras kepala, galak, dan otoriter. Dia juga pandai bicara, kerap kali ada yang menegur, walhasil malah kena omong nyelekit dan skakmat. Maka dari itu, sudah malas kalau apa-apa berhubungan dengan Jess dan memilih tak acuh, saking sudah capeknya dan saking sudah kebanyakan takut pada Jess--apalagi yang santriwati junior karena memang Jess sudah santriwati senior.

"Denger-denger Mbak Jess nggak bales apa-apa ke kamu?" timpal Sana. Dia memang mendapat desas-desus kalau Queen tidaklah mendapat pembalasan apa pun dari Jess. Dia tidur sebelahan dengan Queen tadi malam, tapi saat momen Queen menyubit kaki Jess begitu dibangunkan, dia masih molor tidur, tapi beberapa yang sudah bangun, mengetahui momen tersebut.

"Iya, nggak. Aku kan nyubitnya juga sambil pura-pura merem, San. Abis nyubit aku pura-pura tidur lagi, males liat mukanya dia. Nggak tahu juga sih kenapa dia nggak ngomelin aku," jelas Queen, kejadian tadi malam terputar jelas dalam momeri otaknya. Ah, tadi malam itu, benar-benar menyebalkan, dia merasa mendapat penghinaan besar seperti dianggap hewan berwujud manusia.

Bukan menjawab, Sana malah memberikan jatah ikan kranjangannya ke piring Queen, menjadikan mata belo Queen melotot.

"Buat kamu, Jagoanku," kata Sana yang peka atas mata belo melotot Queen itu.

"Lah kamu gimana? Nggak pake lauk sarapannya?" selidik Queen, langsung mendapat gelengan Sana seraya penjelasan, "Aku lagi gatel-gatel, jadi lagi menghindari makanan ikan-ikan gini."

Queen Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang