16. SCTV: Satu untuk Semua

875 82 17
                                    

Queen menjadi Mbak Ndalem. Yaitu santriwati yang mengabdi ke keluarga ndalem pesantren, membantu ragam pekerjaan rumah seperti pekerjaan dapur, menyapu dan mengepel, hingga hal lainnya seperti menyajikan teh jika ada tamu.

Kata Sana, jadi Mbak Ndalem itu ada susah senangnya. Susahnya, menjadi abdi ndalem memiliki pekerjaan lebih berat, lebih melelahkan daripada santri biasa. Kadang juga waktu mengajinya terganggu karena mendapat dawuh mendadak dari Ummi seperti misal untuk membuat dan mengantarkan teh buat tamu di sela kelas mengaji sedang berlangsung. Senangnya, menjadi Mbak Dalem itu lebih banyak punya waktu ke luar pesantren seperti pergi ke pasar, nderekaken Abah dan Ummi ke suatu tempat, bahkan kadang juga diajak liburan oleh beliau.

Namun, masih kata Sana, jadi abdi ndalem di pesantren memang seringkali waktu mengajinya terganggu, kurang maksimal fokusnya yang tidak seperti santri lainnya, tetapi percayalah, kebanyakan abdi ndalem kalau selama masa pengabdiannya itu ikhlas, maka di masa depan begitu keluar dari pesantren bakalan jadi orang.

"Jadi orang gimana? Lah sekarang aja udah jadi orang, San," timpuk Queen dengan pertanyaan bingung; sekarang saja sudah menjadi orang, memangnya sekarang ini dirinya ibarat orang-orangan sawah?

Bukan menjawab, senyum geli Sana merekah.

"Iya, sekarang kita memang udah jadi orang, Queen," sahutnya seraya terus saja memotong tempe kecil-kecil.

"Maksudnya jadi orang dalam arti yang berbeda, Queen," jelasnya kemudian, melontrakan senyum ke arah Queen yang manyun ke arahnya karena dibuat bingung.

Kemudian Sana pun menjelaskan perihal jadi orang itu. Maksudnya jadi orang itu bisa disamakan dengan kata jadi orang berhasil, sukses. Kata jadi orang pada setiap orang jelaslah berbeda-beda. Dan terkhusus untuk para santri, dikatakan jadi orang adalah ketika pulang nanti, ilmunya yang ditimba di pesantren bakalan bermanfaat, berkah--minimal bagi diri sendiri, bagusnya lagi untuk masyarakat sekitarnya.

"Owalah gitu toh," komentar Queen begitu penjelasan Sana bisa dicerna baik olehnya.

"Tapi istilah jadi orang bagiku kayaknya bakalan ada nilai plusnya deh, San," ujar Queen yang kini sedang mencuci udang yang hendak dimasaknya menjadi oseng udang tempe.

"Ada nilai plusnya gimana?" timpal Sana, baru saja selesai memotong tempe. Beralih ke hal lain; memotong cabe hijau keriting.

"Nilai plus .... " Dengan tangan cekatan mencuci udang, Queen cengar-cengir sendiri, pasalnya bayangan seseorang hadir sudah dalam pikirannya.

"Kalo akhirnya aku bisa nikah sama Akhi," imbuhnya. Lolos membuat kedua mata kelam Sana melebar hingga seperti mau copot. Sana tahu benar siapa sosok akhi yang Queen maksudkan; pastilah Gus mereka--Gus Helmy.

Tawa kecil Queen terdengar ringan. Selesai mencuci udang, dia segera kembali ke arah top table untuk mulai memanaskan minyak goreng di sela Sana geleng-geleng kepala atas polahnya itu.

Sedangkan, tanpa mereka berdua tahu, Helmy yang baru saja menelepon seseorang sembari duduk di ruang keluarga, beringsut ke pantri untuk membuat kopi, tak sengaja menguping pembicaraan mereka berdua. Baginya, barusan yang keluar dari mulut Queen hanyalah gurauan semata, toh, ledekan seperti tadi memang sudah menjadi hal umum di kalangan pesantren; di mana santriwati memimpikan menikah dengan Gus-nya atau santri putra memimpikan menikah dengan Ning-nya.

Helmy tidaklah peduli dengan omongan jenis itu. Dia memilih kembali ke ruang keluarga untuk menemui Ummi Maftuhah. Ada hal penting yang harus dibicarakannya bersama beliau setelah percakapannya tadi dengan seseorang di balik telepon selesai.

Queen Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang