14. Bias

881 89 2
                                    

Kuni mendeklarasikan sendiri untuk orang lain memanggilnya dengan sebutan Queen saat dia sudah setengah tahun sekolah dasar. Dia tahu kata berbahasa Inggris itu dari kakak kelasnya.

Queen yang berarti ratu. Dia bercita-cita ingin menjadi ratu saat kecil karena seorang ratu adalah orang kedua yang paling berkuasa dan dihormati setelah raja. Dan katanya ucapan adalah doa, maka dari itu dia meminta orang yang dirinya kenal agar memanggilnya Queen, serta selalu mengenalkan diri dengan orang baru dengan nama panggilan Queen, berharap itu sungguh akan menjadi nyata di masa depan, entah bagaimana caranya.

Queen dan Sana sedang mencari kalung Queen yang hilang. Meneliti setiap jalan yang belum lama dilalui Queen.

Sana berjongkok mencari kalung itu di antara 2 pot bunga taman pesantren. Kedua matanya awas sekali, dia tak mau melewatkan apa-apa yang ada di hadapan.

"Kalung yang ilang ini pasti berharga banget buat kamu ya, Queen?" selidik Sana, atensi tatapannya teralihkan ke arah pot lidah buaya, ada sesuatu yang mencuri perhatiannya. Dia kira itu gelungan kalung, tetapi saat didekati, nyatanya batu kecil warna putih.

Gerakan Queen yang menunduk mencari-cari di paving block tertahan. Bukan langsung menjawab, dia justru jadi termangu.

Termangu memikirkan kalau kalung tersebut jelaslah amat berharga baginya. Tepatnya bukan kalungnya, melainkan cincin berbaret nama Kuni itu yang dijadikannya sebagai bandul.

Sebuah cincin yang kadang-kadang berhasil membuat dia berkhayal kalau ada seseorang yang datang mencarinya dengan pencarian petunjuk cincin berbaret nama Kuni ini. Seseorang itu yang tak lain adalah salah satu dari keluarganya.

Ah, andai momen dalam ilusinya sungguh kejadian di suatu waktu, di masa depan. Tapi entahlah, apakah sungguh akan datang momen indah jenis demikian untuknya? Jika benar akan datang momen yang lebih pantas sebagai khayalan ini, harus berapa lama lagi dirinya menanti? Satu-dua tahun lagi, lima sampai sepuluh tahun lagi, atau malah tak akan pernah ada ujung penantian karena kebenarannya adalah dia anak buangan orangtua?

Dada Queen mendadak sesak. Dia selalu benci pikirannya kala berandai-andai perihal keluarga. Berharap keluarganya diam-diam sedang mencarinya mati-matian, berujung terkadang menyakitkan kalau sejatinya dirinya sungguh anak yang sengaja dibuang oleh orangtua sendiri seperti yang ada di film-film atau highlight berita televisi dan koran.

Dari dulu, Queen selalu penasaran kenapa dari bayi dia sudah berada di panti asuhan. Dia ingin tahu apakah dia adalah korban anak hilang atau korban anak buangan orangtua? Serta dia ingin tahu bagaimana rasanya memiliki kedua orangtua. Dia haus kasih sayang. Dia kesepian. Bisakah sesuatu yang tampak fatamorgana itu menjadi nyata?

Bagaimana rasa hangatnya pelukan orangtua? Bagaimana rasanya bisa memanggil seseorang dengan sebutan Mama dan Papa, atau sejenisnya? Bagaimana rasanya disebut Sayang oleh orangtua? Bagaimana rasanya sarapan dengan menu buatan sosok Mama? Atau, bagaimana memiliki keluarga yang hangat, walau sekedar keluarga angkat?

"Queen," panggil Sana yang merasa terabaikan karena temannya ini tak kunjung memberikan respon atas pertanyaan yang diberikannya.

Nyatanya, Queen tetap bergeming, melamun.

"Queen, kok malah ngelamun sih," lanjut Sana seraya menepuk sebelah bahu lawan bicaranya itu yang berakhir terkaget.

Bukan menjawab dengan variasi kata, Queen justru nyengir lebar dengan jantungnya yang masih berpacu rancu. Dia bertanya dengan rikuh perkara barusan Sana bertanya apa. Sana justru melambaikan tangan, merubah topik.

"Hayo, ngelamunin apa? Kamu ngelamunin Mas Pacar yang kamu tinggal, ya?" ledek Sana dengan kedua mata beralih menyipit sambil sebelah tangannya membuat acungan jari telunjuk ke arah Queen.

"Mas Pacar? Ngaco kamu," sahut Queen penuh sebal, "Aku nggak punya pacar!"

"Hm, tapi aku nggak percaya," sangkal Sana, rupanya belum jemu meledek.

"Serius. Toh, di pesantren nggak boleh pacaran. Tapi aku punya bias. Hehehe," jujur Queen yang dipenuhi rasa percaya diri tingkat tinggi.

Gestur wajah Sana berubah antusias. Bayang nama-nama seseorang langsung berkelebat dalam kepala sebagai ajang menyelidiki perihal siapa biasnya Queen.

"Pasti idol atau artis Korea," terkanya kemudian.

"Bukan." Queen menampik dengan cepat.

"Pasti aktor Thailand. Aktor Thailand juga ganteng-ganteng." Sana belum menyerah untuk menerka.

"Bukan. Bahkan aku nggak pernah nonton film atau drama series Thailand." Lagi, Queen menyangkal. Berimbuh hembusan napas berat Sana.

Sejenak, mereka berdua menjadi lupa alasan utama mencari kalung.

Queen akhirnya memberi petunjuk.

"Bias aku yang suka sholawatan dong, " ujarnya dengan tingkat kepercayaan diri sempurna.

Tampak Sana berpikir sesaat, keningnya mengerut samar, hingga kedua matanya berbinar sambil bibirnya menjawab, "Pasti di antara Habib Alwi Assegaf dan Gus Azmi."

"Bukan." Queen menyangkal dengan ringannya.

"Bukan?" Kedua mata Sana membulat. Napas yang kembali dihembuskannya dengan berat menjadi pertanda dirinya kecewa.

"Lalu siapa atuh?" Rupanya Sana pasrah, mendapatkan cengiran geli Queen.

Dengan berbaik hati, Queen mendekati Sana, membisiki, "Akhi Helmy."

Seketika satu timpukan tangan Sana melayang ke bahu Queen, berdecak, "Ih dasar!"

Sana geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya dirinya lupa tentang satu fakta bahwa Queen mengidola berat kepada Gus Helmy.

Lantas keduanya cengar-cengir seperti orang gila. Memutuskan kembali fokus mencari kalung.

"Queen."

Suara dan tepukan halus Dewi di bahu, lolos membuat Queen yang kembali khusuk itu terperanjat. Perlahan, dia pun menoleh ke arah Dewi. Dia langsung menemukan senyuman Dewi sembari tak tanggung-tanggung, satu tangan gadis ini memamerkan sesuatu dengan bangga.

"Pasti kamu lagi cari kalung ini, 'kan?" ujar Dewi, mengulurkan kalung milik Queen.

Kedua mata Queen langsung berbinar senang. Segera mengambil kalung miliknya dengan berseru, "Iya, ini kalungku. Makasih udah nemuinnya, Mbak."

"Bukan aku yang nemuin. Ini aku tadi dititipi Ummi. Kata Ummi, yang nemuin Gus Helmy. Si Gus nemu kalung kamu setelah kamu pergi nabrak Gus," jelas Dewi, meluruskan apa yang ada.

Mulut Queen terbuka karena terkejut, tak menyangka kalau yang menemukannya justru Helmy. Aduh, dia juga jadi tidak enak hati karena saat tak sengaja menabrak, dia meminta maafnya dengan kurang sopan dan langsung terbirit pergi.

"Ini kartu Brizzi kamu, Queen. Kata Ummi, udah diisi saldo," lanjut Dewi, gantian memberikan kartu Brizzi pada Queen, membisiki nominal saldo di kartu Brizzi yang diberikan.

Kepala Queen pun mengangguk saat mendengar bisikan Dewi. Atensinya terbagi dengan melihat kartu Brizzi yang diberikan pesantren untuknya. Kartu Brizzi khusus untuk para santri, di kartunya sudah dimodifikasi dengan langsung menampilkan KTS, alias Kartu Tanda Santri.

Queen tersenyum kala sepasang matanya menatap pas foto sendiri di KTS. Dia menjadi teringat saat hendak berfoto itu, dia bergaya dengan sedikit melihatkan poni rambut kala memakai hijab, berujung terkena tegur dan dibimbing memakai ciput oleh Dewi.

Pesantren Bustanul Hidayah mengikuti program e-money untuk transaksi di wilayah pesantren. Hal tersebut diterapkan untuk mengurangi transaksi dalam bentuk tunai. Bisa digunakan di berbagai bisnis milik pesantren Bustanul Hidayah; seperti kantin, koperasi, laundry, dan lain-lain.

"Ummi juga nitip salam buat kamu. Katanya Gus Helmy mau ke panti asuhan Asih Ibu pekan besok, barangkali ada titipan atau apa untuk pihak panti, jangan sungkan buat kasih tahu Ummi," kata Dewi, menyampaikan amanat lain dari Ummi Maftuhah selain kalung berbadul cincin.

Mendengar itu, rabaan jemari Queen di kartu Brizzi yang menampilkan pas foto KTS-nya pun tertahan. Pikirannya dengan cepat berlayang-layang mencerna baik-baik kata demi kata salam yang Dewi berikan, hingga berakhir tanda tanya besar. Ada urusan apa Akhi mau ke panti asuhan Asih Ibu?

____________________

Queen Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang