18. Cegil

785 58 0
                                    

Siang yang terik. Pesantren Bustanul Hidayah sudah sepi, para santri-santriwati tampaknya mengikuti kelas diniyah mereka tanpa telat. Gedung Madrasah Diniyah milik pesantren berada di seberang gedung asrama pondok.

Terdengar bunyi bel masuk kelas. Pukul 13.30 memang waktu jam pertama kelas diniyah telah tiba. Para tholab-tholabah yang sebelumnya berada di teras kelas mereka, masuk ke dalam untuk menyiapkan diri. Menunggu ustadz mereka mengajar.

"Mbak, njenengan beneran ikut kelas ini cuman bawang konthong?" tanya Ida kala menunggu Ustadz Farhan untuk mengajar pelajaran akhlak dengan kitab Al-Akhlaq lil Banat karya Syekh Umar bin Ahmad Baraja.

"Bawang konthong? Itu apa, Da?" Hal tersebut sungguhlah istilah baru bagi Queen.

"Bawang konthong ya cuman ikut-ikutan aja, tapi nggak dianggap, Mbak," timpal Ida, membenahi posisi duduknya condong ke arah lawan bicara, "Hmm, maksudnya ... Mbak Queen memang ikut kelas Awaliyah 1B sekarang ini, tapi nanti nggak ikut kenaikan kelas."

Rupanya Queen cepat bisa menangkap penjelasan Ida, teman sebangkunya yang umuran kelas VII MTs.

Untuk sekolah diniyah yang biasanya disebut Madin--alias madrasah diniyah--tingkatan kelas sesuai dengan lamanya mesantren. Seperti Queen yang santri baru, ikut tingkatan Awaliyah, sama dengan Ida yang jauh lebih muda, tapi masuk pesantren di tahun angkatan yang sama. Namun, tak memungkiri, jikalau santri baru, tapi bisa lolos tes seleksi langsung ke tingkat Wustho atau Ulya, maka akan langsung naik ke tingkatkan tersebut, seperti misal para santri pindahan dari pesantren lain.

Faktanya, Queen memang didawuhi Ummi Maftuhah untuk tetap mengikuti sekolah diniyah di tingkatan Awaliyah walau sebentar lagi musim kenaikan kelas, agar dia terbiasa dengan suasananya dahulu, belajar yang ada walau tertinggal banyak, tentunya untuk lebih banyak mengenal santriwati. Masalah kenaikan kelas, dia boleh mengikuti ulangan kenaikan, jika nilainya memenuhi standar kenaikan, bisa naik ke tingkatan Wustho, jikalau sebaliknya, jelaslah tetap tinggal.

"Kurang lebih begitu, Da," sahut Queen. Dia juga menganggap dirinya sejenis itu, hanya ikut-ikutan kelas saja. Soal materi pelajaran yang tertinggal banyak, hampir semuanya belum bisa ditangkap otaknya dengan baik, menulis pegon saja belum lancar, tulisan arabnya juga jelek. Lain halnya dengan Ida, bocah sebangkunya itu, tulisan arabnya sudah bagus, cukup memiliki seni, benih-benih bisa menjadi kaligrafer.

"Mbak, aku jadi inget sesuatu," alih Ida seraya membenahi lengkungan hijab putihnya yang mleyot sebagian, "Tadi malem, aku nemu sesuatu di WC."

"Eh?" Sebelah alis Queen terangkat. Sesuatu di WC? Bocah satu ini benar-benar lain, pembahasannya malah WC.

"Bukan di WC-nya sih, tapi di tembok. Tulisan pake pulpen," jelas Ida yang menangkap raut kebingungan lawan bicara.

"Tulisan 'DASAR QUEEN, CEGIL!' gitu, Mbak."

Queen tetap bergeming. Belum lama tinggal di pesantren, tapi sudah mulai terbiasa dengan banyak hal yang ada di sini. Salah satunya tentang santriwati kurang kerjaan yang kadang mencoreti tembok WC dengan tulisan tak berfaedah, sempat-sempatnya asal curhat di dinding WC. Bukan main, kadang menaruh kebencian seperti padanya barusan, kadang justru tulisan lebay semisal; Aku naksir kamu loh, Kang Mahfud atau nggak betah banget ih, pengin kabur.

"Hurufnya ditulis pake kapital semua lagi, Mbak," tutur Ida kemudian. Saat membacanya seraya buang air besar, dia turut kesal. Dia benci teman sebangkunya dijelek-jelekan begitu, padahal orangnya baik. Mending seperti dirinya saja yang juga kadang suka coret-coret di tembok WC dengan tidak menghujat orang lain. Biasanya seputar curhat kangen Mama atau mengeluh bahwa masakan di pesantren kurang enak, kadang curhat perihal deterjen cairnya yang hilang atau jemuran pakaiannya tidak kunjung kering.

Bagi Ida, bukan masalah besar curhat di tembok WC. Itu satu-dua kali dilakukan setelah pulang sekolah diniyah, biasanya kebelet hajat, belum sempat mengganti seragam, langsung terbirit-birit lari ke situ, pulpen di saku, hasrat coret-coret tidak bisa diengkan, maka terjadilah hal demikian yang sering dikeluhkan Pengurus Kebersihan. Kata Mbak Pengurus Kebersihan; merusak fasilitas pondok, tapi baginya nggak tuh, toh, setiap minggunya dibersihkan ekstra sama santriwati yang roan atau yang kena takzir. Lagian, curhat di tembok WC itu bermanfaat, bisa menuangkan unek-unek, tapi untuk menghujat orang, jelaslah tak bisa dibenarkan.

"Siapa yang nulis, Da?"

"Ya nggak tahulah, Mbak. Kan aku nggak nangkep basah siapa yang nulis."

"Oh, iya, Da." Bibir Queen nyengir, bodoh sekali dirinya telah menanyakan perkara barusan.

Ah, Ya Allah, cegil? Maksudnya cewek gila? Queen manyun akan julukan baru untuknya. Penasaran siapa yang menulis olok-olok tersebut. Pastilah orangnya amat membencinya. Padahal, dia rasa, tak pernah membuat tersinggung, marah, atau apalah yang membuat sakit hati santriwati lain. Namun, kecuali Jess, barangkali saat itu yang menjadikan viral, Jess kesal besar. Tapi Jess adalah santri senior, rasa-rasanya kurang kerjaan sekali melakukan hal kekanakan tersebut. Padahal Jess terkenal garang, kalaupun terlampau sebal, lebih memungkinkan langsung melabraknya dengan nada tinggi dan kedua mata melotot.

"Udah lah, nggak usah dipikirkan, Mbak. Capek mikir begituan mah. Mending latihan murodi, Mbak. Takutnya nanti malah kena tunjuk murodi sama Ustadz Farhan."

Ada benarnya bocah sebangkunya, tidak usah memikirkan hal itu. Entah siapa yang mengolok, walau penasaran, Queen mencoba tak peduli. Toh, mau sebaik apa pun seseorang, pastilah tetap ada orang lain yang tak suka.

Cegil? Entahlah itu. Lebih baik mulai detik ini, dia wawas diri seraya kembali meneguhkan hati untuk belajar sungguh-sungguh di pesantren agar tak menyesal di kemudian hari. Masuk pesantren adalah kesempatan emas untuknya, dia tak boleh menyia-nyiakan hal terbaik yang telah diberikan.

Queen menjadi teringat salah satu nasihat Ummi Maftuhah tentang mesantren adalah hal baik yang memiliki banyak batu terjal, cobaan yang beragam untuk para tholabul 'ilmi, maka harus teguh dan sabar, tak boleh menyerah.

Tak lupa, Ummi Maftuhah pun memberi kutipan motivasi dari Imam Syafi'i yang amat populer dari Diwan asy-Syafi'i.

Merantaulah …

Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.

Tinggalkan negerimu dan hidup asing  di negeri orang.

Merantaulah …

Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan, kerabat dan kawan.

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Tanpa terasa, bibir kenyal Queen mengulum senyum. Semangat membara di dada.

Sedangkan, Ida membenahi posisi duduk. Meraih kitab akhlaknya, sibuk membaca kitabnya yang sudah dimaknai menggunakan Jawa pegon. Melakukan persiapan jikalau nanti terkena tunjuk murodi--atau menerjemahkan ke bahasa Indonesia--oleh Ustadz Farhan, dia sudah bisa, tidak memalukan. Sekon ke depan, disusul Queen, malah rusuh minta diajari Ida dalam hal murodi.

Angin menghembus pelan. Mentari begitu teriknya.

Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda. Berada di ruang tamu dengan interior earthy tone, sepasang suami istri sedang duduk di sofa dengan perasaan harap-harap cemas. Mengawalinya dengan basmalah untuk mulai membaca hasil tes DNA--yang sampelnya diambil lewat bantuan Dewi.

_____________________

Roan: kerja bakti membersihkan lingkungan pesantren.
Pegon: huruf arab yang sudah mengalami transliterasi dan diberi tanda tertentu, digunakan di pesantren untuk memaknai kitab kuning menggunakan bahasa Jawa atau Sunda, dll.
Takzir: hukuman.

Queen Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang