06. Nggak Jelek

1.1K 98 0
                                    

Queen amat menyukai musik.

Dengan mendengarkan musik, menyanyi, memainkan gitar, hormon endorfinnya berproduksi lancar, perasaan remuknya perlahan lebih terasa membaik.

Bagi Queen, cincin berbaret tulisan Kuni ini adalah sebuah luka, tapi juga harapan yang barangkali bisa menuntunnya mencapai kata bahagia.

Sebuah luka; sebab cincin ini kerap mengingatkannya pada ibu panti yang menceritakannya perkara dia ditemukan tepat di depan pintu utama panti asuhan, di dulu saat dirinya bayi beberapa bulan.

Dia sering bertanya-tanya soal takdir; bukankah melihat dari cara dirinya ditemukan oleh ibu panti, itu menandakan jelas jika dirinya ini sengaja dibuang? Tetapi kenapa kalau sengaja dibuang, Si Pembuang yang entah itu, orangtuanya atau bukan, malah memberi sebuah jejak dengan meninggalkan cincin berbaret Kuni yang kini menjadi namanya?

Queen menghela napasnya berat. Menggenggam cincin berbaret Kuni yang masih menggandul di kalung.

"Udah lama banget pengin bisa panggil seseorang dengan sebutan Papa sama Mama," ujarnya sembari kedua matanya perlahan mengembun. Pikirannya melayang pada memori masa lalu.

Memori masa lalu, soal dia di usia kelas 5 SD-an, kala Tante Sarah memutuskan mengadopsinya, dia sudah membayangkan terlalu jauh; soal kasih sayang yang akan dia terima setiap hari, juga soal dia akhirnya bisa menyebut seseorang dengan panggilan Mama.

"Tapi itu nggak pernah terwujud sampai sekarang aku berumur 20 tahun. Di tempat lain, apakah ada orang-orang seperti aku; seumur hidupnya nggak pernah diberi kesempatan satu kalipun panggil seseorang dengan sebutan Papa sama Mama?"

Embunan di mata belo itu akhirnya jatuh. Membasahi pipi.

Queen amat benci di kala mengingat dirinya yang menyedihkan ini, di mana dia ingin memanggil seseorang dengan sebutan Papa dan Mama saja tidak pernah dikabulkan, berakhir dia merasa takdirnya paling buruk sejagad raya.

Allah itu adil. Dan adil itu nggak harus identik.

Suara lemah lembut ibu panti memenuhi ruang memori Queen.

Saat hari-harinya dihabiskan di panti asuhan dan panti asuhan adalah sebuah rumah dengan semua yang menetap di sana saling menganggap satu sama lain menjadi keluarga, kalimat itu cukup sering dikatakan beliau untuk mengingatkan anak-anak panti agar senantiasa bersyukur.

Senantiasa bersyukur bahwa keadilan itu tidaklah harus identik. Bahwasanya mereka memang tidaklah beruntung terlahir lewat kasih sayang orangtua mereka, tetapi selalu ada hal lain yang tetap saja disyukuri dengan keberuntungan yang lain. Seperti mungkin; lewat wajah dari sebagian mereka yang rupawan, atau berotak cerdas, atau pandai melukis, atau bersuara merdu, atau bahkan pintar memasak, atau hal lainnya.

Queen tersenyum tipis mengingat itu.

Jika direnung, ucapan ibu panti amatlah benar perkara adil itu tidak harus identik sebab barangkali kita beruntung di satu hal yang menjadi ketidakberuntung orang lain, tetapi kita tidaklah beruntung di hal lain yang menjadi keberuntungan mereka.

Layaknya kini, Queen sadar benar bahwa dirinya amat beruntung di masalah fisik yang rupawan, cerdas, suara bagus seperti komposisi suara Raisa dan pandai bermain gitar. Namun, di sisi lain, salah satu ketidakberuntungnya adalah perkara keluarga yang bahkan siapa orangtuanya saja dia tidak tahu.

Tapi tengoklah kehidupan oranglain di luaran sana; ada sebagian orang yang begitu menginginkan berparas rupawan karena terlahir sebaliknya, ada juga yang berotak begitu bodoh sampai bingung harus belajar dengan cara seperti apa agar otaknya tidaklah bodoh-bodoh amat, ada juga yang bersuara amat biasa sampai-sampai paling menghindari praktik bernyanyi di kelas. Sejenis itu bisa dibilang keberuntungan, bukan? Namun, di sisi lain, sebagian dari mereka memiliki kelurga yang lengkap, circle pertemanan yang sehat, atau barangkali memiliki karir yang bagus, atau hal lainnya yang menjadi keberuntungan mereka.

Queen Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang