21. Rumah

1K 66 4
                                    

Semua berawal dari seorang caleg yang selalu ditolak dalam meminta dukungan suara dari Abah Mufid.

Reza. Nama caleg itu. Dari kali pertama mencoba nyaleg, terpilih menjadi DPR, sampai menjadi Bupati, setiap masa pemilihan, dia selalu sowan meminta dukungan Abah Mufid yang menjadi salah satu kyai masyhur di Tuban.

Sudah menjadi hal lumrah bahwa setiap pemilihan, hampir dari tiap para calon atau pejabat negara meminta dukungan dari ulama tertentu untuk meraup dukungan, baik dengan cara money politic ataupun tidak.

Abah Mufid adalah seorang kyai yang selalu menolak money politic dan mengutamakan kemaslahatan umum. Beliau selalu menolak permintaan dukungan Reza di musim pemilihan. Bukan tanpa sebab, itu karena Abah Mufid tahu sisi gelap Reza yang melakukan money laundering.

Money laundering (pencucian uang) adalah proses membuat uang yang diperoleh secara ilegal terlihat legal.

Reza memiliki bisnis judi online dan narkoba, lantas berinvestasi di bisnis legal untuk melegitimasi dana yang diperoleh secara tidak sah itu.

Jangkauan Reza amatlah luas untuk memuluskan bisnis ilegalnya; mulai dari pejabat negara, aparat kepolisian, firma hukum, pengusaha, para tukang pukul, hingga ulama yang terbuai duniawi.

Bukan atas dasar kurangnya dukungan suara, penolakan Abah Mufidlah yang menjadikannya tertantang. Reza mencoba lagi dan lagi, tetapi sebanyak apa pun dirinya mencoba, penolakan selalu menjadi jawabannya, tak peduli seberapa banyak benefit yang diberikan, beliau tegas menolak.

Saat itu, Ummi Amel, istri Abah Mufid baru saja melahirkan bayi kembar perempuan. Baru beberapa hari, salah satunya sakit demam dan dilarikan ke rumah sakit.

Musibah tak akan ada yang tahu kapan datangnya. Kala itu, setelah dibawa ke dokter dan opname, usai Ummi Amel menyusui bayi merah yang belum diberikan nama ini, beliau mengamanatkan bayinya untuk dijaga oleh salah satu Ners.

Namun, ketika Ummi Amel kembali, bayi yang dititipkan tersebut telah menghilang bersama Ners. Meninggalkan sendirian bayi satunya yang sedang tertidur pulas.

Setelah upaya pencarian mandiri dan tak mendapatkan titik temu, akhirnya beliau melaporkannya ke polisi.

Polisi mendapatkan rekaman CCTV sebagai petunjuk vital: seorang Ners yang membawa bayi keluar dari area rumah sakit dan terlihat memasuki sebuah mobil ambulans. Namun, upaya untuk melacaknya banyak kendala karena ambulans tersebut menghilang di antara banyak titik buta.

Keputusasaan semakin menghimpit karena hari demi hari, jejak bayi itu belum menemukan perkembangan.

Hingga, seminggu kemudian, ditemukanlah bayi itu sudah tak bernyawa dengan sebagian tubuhnya hancur.

"Jadi, bayi itu sebenernya bayi siapa, Bu. Hm, maksudku ... Mama."

"Mama juga belum tahu, Nduk. Dulu, kami kira bayi itu adalah kamu karena bayi itu mengenakan pakaian milikmu, wajahnya hancur dan tak bisa dikenali. Dari proporsi tubuh, semuanya mirip kamu. Dan .... terdapat cincin berbaret nama Kuni di sampingnya," jelas Ummi Amel kepada Queen--anak kandungnya yang telah bertahun-tahun hilang dan sempat dikira sudah meninggal dunia.

"Maka dari itu ... Ah, Ya Allah, kami langsung mengklaim bahwa itu kamu tanpa melakukan tes DNA ataupun otopsi karena kami telah mengikhlaskannya."

"Dan belum sehari semalam ditemukan, Reza menyerahkan diri secara suka rela, mengakui bahwa dirinyalah yang telah melakukan pembunuhan berencana karena rasa dendamnya pada Abah," imbuh Abah Mufid. Seketika ruang tamu ndalem Abah Uwais menghening.

***

Queen diboyong ke Tuban.

Akhirnya Queen bisa merasakan bagaimana rasanya pulang dan memiliki keluarga yang menyayanginya.

Queen bisa menyebut seseorang dengan sebutan Mama dan Ayah.

Tak pernah disangka, dia adalah adik kembar tak identik dari Qumi, tunangan Helmy yang telah meninggal.

Rasanya, semua itu masih tampak mustahil untuknya.

Dulu, bertemu keluarga kandung dan menemukan kebenaran kenapa dirinya terpisah dari orangtua sejak bayi hanyalah sebuah wacana, kini sudahlah menjadi nyata.

Jantung Queen berpacu cepat begitu dirinya kali pertama menginjakkan kaki di sebuah tempat yang disebut rumah. Inilah yang didiamkannya sejak dulu. Sebuah rumah yang menjadi tempatnya untuk pulang berlindung dan berkeluh kesah, serta menjadi tempat penuh kasih sayang.

"Jangan diam saja, Nduk. Ayok masuk," ujar Ummi Amel seraya mengusap bahu Queen yang malah bengong di beranda rumah.

"Oh, iya, Ma."

"Ayo, Nduk." Abah Mufid ikut mengelus bahu Queen.

"Baik, Yah."

Queen pun beringsut ke dalam rumah bergaya minimalis berlantai dua, berada di kawasan asrama putri pesantren Manarul Huda.

"Sekarang kamar ini jadi kamar kamu, Nduk. Dulunya, kamar ini milik Mbakyu-mu," kata Ummi Amel begitu masuk ke kamar Qumi bersama Queen.

Begitu kepergian Qumi, kamar yang tengah Queen pijak tak berpenghuni. Tetapi beberapa hal tentang Qumi tetap dibiarkan ada dan terjaga; seperti boneka tupai kesayangannya, koleksi buku Qumi yang amat menyukai membaca dalam kamar, lilin aroma terapi bergamot, dan beberapa pakaian favorit yang tetap dibiarkan tergantung dalam lemari.

Queen melangkah pelan, mengeja sekitar. Sebuah pigura di atas nakas yang menampilkan seorang gadis berhijab monokrom mengalihkan seluruh atensi Queen. Dia segera membawa kakinya mendekat. Meraih bingkai foto krem. Mengeja potret gadis manis yang terpampang.

"Apakah ini Kakak, Ma?" tanya Queen seraya menoleh ke arah Ummi Amel yang sudah berada di sisinya.

Seutas senyum singgah di bibir Ummi Amel.

"Iya, Nduk. Ini Kakak. Mbakyu-mu."

Bergeming. Queen memilih menggerakkan sebelah tangannya untuk mengelus wajah Qumi. Gadis dalam bingkai foto itu tersenyum manis. Wajahnya amat berbeda dengan Queen, tetapi senyum yang ada seperti Queen menemukan sesuatu di sana. Queen menemukan dirinya dalam senyum Qumi. Kala tersenyum, ada kemiripan di antara keduanya, senyuman yang amat mirip dengan Ummi Amel.

Queen belum tahu seutuhnya perihal kronologi tentang kakaknya ini yang sebelum meninggal amat yakin bahwa dia masihlah hidup. Qumi yang menemukan banyak clue tentangnya, salah satunya perihal cincin berbaret nama Kuni yang dimiliki Ummi Amel yang ditemukan di samping mayat bayi Kuni adalah cincin palsu.

"Yen Mbakyu-mu masih ada, pasti seneng banget ngeliat kamu balik, Nduk."

(Jika Mbakyu-mu masih ada, pasti bahagia banget lihat kamu pulang, Nduk)

"Iya, Ma."

"Dia bahkan sudah membelikan sesuatu untuk kamu, Nduk."

"Sesuatu, Ma?"

"Iya."

Ummi Amel beranjak ke arah lemari. Mengambil kotakan besar warna cappucino, segera memberikannya pada Queen.

"Ini dari Mbakyu-mu. Bukalah, Nduk."

Queen mengembalikan figura ke atas nakas. Beralih mengulurkan kedua tangan, meraih kotak besar itu. Penuh kehati-hatian, membuka tutup, menemukan sebuah boneka tupai yang sama persis dengan milik Qumi yang berada di atas kasur.

"Ah, Ya Allah. Lucunya," ucap Queen seraya memeluk boneka tupai pemberian Sang Kakak, "Makasih, Kak."

Kedua mata Queen berkaca-kaca. Pun sama, Ummi Amel terharu dengan matanya berair.

Masih dengan memeluk Si Tupai, sebelah tangan Queen merengkuh mamanya. Mereka berdua menangis bahagia dipenuhi haru, rasa syukur yang maha besar.

Langit Tuban memendung. Lambat-lambat, rintik hujan membasahi bentala.

"Ma, gimana awal mulanya Kak Qumi bisa yakin banget kalo aku masih ada?" tanya Queen begitu pelukan yang ada merenggang.

Lengkung sabit tersemat di bibir Ummi Amel. Penggalan kenangan tentang Qumi yang tiba-tiba yakin sekali bahwa Qonita, alias Kuni masih ada, terputar dalam serebrum.

_________________

Queen Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang