36. BERAT

87 31 21
                                    

“Sekuat apapun seseorang, ia akan tumbang jika kehilangan semestanya.”

—Wira William Winata—

☀️☀️☀️

Pagi datang. Zavira kini bersiap untuk pergi ke sekolah bersama Ditya. Kehidupan baru bagi Zavira. Vibes yang berbeda 180° dengan Jakarta dan SMA Rigatha.

Zavira yakin dirinya bisa. Gadis itu memaksakan senyumnya pada dunia. Meski dalam lubuk hatinya, tersimpan rasa lara yang mendalam.

"Ayo, Sha." ajak Ditya.

"Nek, aku berangkat dulu." pamit Zavira sembari mencium punggung tangan Ela.

Kedua remaja itu berangkat menuju SMAN 1 Sawaran. Dengan kecepatan sedang, Ditya mengemudikan motor Vespanya.

Setelah sampai di sekolah, Zavira turun dari motor Ditya. Semua pandangan siswa-siswi SMAN 1 Sawaran terfokus pada Zavira.

Mulai dari paras Zavira yang cantik, dan seragam Zavira yang masih menggunakan seragam SMA Rigatha dengan almetnya.

Seragam SMA populer itu dipakai oleh anak baru. Zavira kini menjadi sorotan. Gadis itu dibicarakan sana sini.

"Makasih ya Dit," ucap Zavira.

Ditya mengangguk. Setelah itu Ditya pergi menuju kelasnya. Zavira memasuki kelas XI IPA 3 sedangkan Ditya XI IPA 2.

Zavira berjalan menyusuri koridor sekolah. Rasanya sangat berbeda. Di sini Zavira belum mengenal siapapun kecuali Ditya dan kepala sekolah.

Zavira menuju ruang guru terlebih dahulu untuk mengambil seragamnya. Seragam putih abu-abu seperti SMA pada umumnya. Tidak seperti SMA Rigatha yang seragamnya memang berbeda.

Setelah itu, Zavira mengikuti wali kelasnya menuju kelas XI IPA 3. Wanita berusia 45 tahun itu sangat ramah dan tampak menyukai Zavira. Jelas, semua guru menyukai murid pintar.

"Semoga kamu betah ya Sha, saya yakin teman-teman juga nyaman dengan kamu." ucap wanita itu.

Zavira hanya tersenyum dan mengangguk. Raganya ada di SMAN 1 Sawaran, tapi pikirannya masih Melvin dan Melvin. Zavira memasuki kelasnya, semua sorot mata tertuju pada gadis itu.

"Hari ini, kita kedatangan murid baru. Ibu harap kalian bisa berteman dengan baik ya," ucap wali kelas XI IPA 3.

"Ayo, Natasha, perkenalkan dirimu." ujar wanita itu.

Zavira tersenyum. "Saya Natasha Zavira, kalian bisa panggil saya Asha." ucap Zavira.

Gadis itu memakai nama yang familiar saja bagi keluarganya di Bandung. Zavira harap, ini adalah langkah yang baik bagi kehidupannya.

"Silahkan duduk di bangku yang kosong, Asha." ucap wali kelas.

Zavira pun duduk di sana. Satu meja untuk dua orang. Meja kayu yang penuh coretan tipe-x, bagi Zavira itu adalah suatu jejak kenang-kenangan.

"Hai, Asha." sapa cowok yang duduk di sebelah Zavira.

Namanya Egi. Cowok itu terlihat berantakan, seperti trouble maker di sekolah. Sial sekali Zavira duduk dengan laki-laki itu.

"Cantik kok diem aja sih," goda Egi.

Zavira menghela nafas. Gadis itu tak memberi tanggapan apapun. Beruntung guru mapel datang, dan pelajaran di mulai.

Zavira sedikit kaget dengan sistem pembelajaran di sini. Guru lebih banyak marah-marah ketimbang mengajar. Guru juga tidak mau mendengarkan pernyataan dari muridnya.

Murid-murid di sini juga terlihat tidak excited untuk sekolah. Banyak sekali murid yang tidur dan izin bolak-balik kamar mandi.

Akhirnya jam istirahat tiba. Zavira keluar dan menuju kantin. Zavira memesan makanan dan membawanya kembali ke dalam kelas.

"Berat banget, Vin." batin Zavira.

Baru selangka Zavira memasuki kelasnya, sebuah gumpalan kertas mendarat di jidatnya. Seketika seisi kelas tertawa menyaksikan hal itu.

Didalam kelas sangat ricuh. Duduk di atas meja, bermain sapu, mencatok rambut, lempar-lemparan kertas, bahkan ada yang berjoget-joget tidak jelas.

"Heh! Kasian tau! Gila ya kalian!" ucap salah satu siswi dengan kacamata bulatnya.

"Alahhh! Sok pahlawan!" sorak seisi kelas.

"Kamu nggak papa, Sha?" tanya siswi itu. Namanya Lulu.

"Nggak papa kok, kalian lanjutin aja." ucap Zavira sembari berjalan mundur.

Gadis itu akhirnya makan di bangku di pinggiran lapangan. Lulu menyusul Zavira dan duduk di sebelah Zavira.

"Asha? Aku boleh duduk di sini kan?" tanya Lulu.

Zavira tersenyum. "Boleh dong!" ucap Zavira.

"Nama kamu Asha kan? Aku Lulu." ucapnya memperkenalkan diri.

Zavira mengangguk. "Iya, Lulu. Aku Asha."

Lulu menatap Zavira serius. "Kamu dari SMA Rigatha ya? Pasti kamu ngerasa beda banget ya sekolah di sini," ucap Lulu.

"Haha, iya. Mungkin karna aku belum terbiasa. Jujur aja aku sedikit shock." Zavira mengungkapkan perasaannya.

"Iya, aku tau itu. Aku juga pindahan loh. Sekolah lama aku emang nggak semewah SMA Rigatha. Aku dulu sekolah di kabupaten sebelah." ucap Lulu.

"Dan aku juga nggak nyaman di sini. Kamu jangan mikir semua sekolah di Bandung kayak gini, Sha. Sekolah lama aku nggak toxic kaya gini, meskipun sekolah negri biasa." lanjut Lulu.

"Kamu udah lama pindah?" tanya Zavira.

"Aku udah satu semester di sini. Aku jadi korban bully. Aku nggak berani ke kamar mandi sekolah karna itu jorok banget. Aku nggak berani speak up soal apapun karna guru beneran nggak pernah ngelirik aku." ucap Lulu.

Zavira terdiam. Akankah Zavira bertahan disini? Dengan kondisi yang seperti ini? Zavira menghela nafasnya. "Aku juga ragu sekolah di sini." lirihnya.

"Pasti ada hal serius yang bikin kamu pindah kesini. Iya kan?" Lulu menebak.

"Dor!"

Secara tiba-tiba Ditya datang dan mengejutkan Lulu serta Zavira dengan teriaknya. Laki-laki itu tertawa puas melihat dua gadis didepannya terkejut.

"Kamu! Bahaya tau!" ucap Lulu.

"Lagian kalian ngapain di sini. Ayo lah ajak Asha keliling." ucap Ditya.

"Ayo, Sha?" ajak Lulu.

Mereka bertiga akhirnya keliling sekolah selama jam istirahat. Namun sepertinya tak cukup, karna SMA ini lumayan luas.

🧸🧺

Seorang laki-laki duduk di atas kursinya, ia berkutat dengan komputernya. "Sialan!" umpat Melvin.

Sudah banyak sekolah Melvin telusuri, namun tak menghasilkan apa apa. Laki-laki itu terlihat frustrasi.

"Tuan, baiknya anda makan siang terlebih dahulu." ujar Will.

Sudah satu hari lebih Melvin tidak makan, ia hanya minum air putih dan kopi terus-terusan. Will tentu khawatir dengan kondisi Melvin.

Will tak tau harus berbuat apa. Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Melvin adalah Zavira.

Melvin bangkit dari duduknya dan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Will mendekati Melvin dan menyondorkan sebungkus roti sobek.

"Tuan, jika anda sakit, semuanya akan semakin berantakan. Jaga diri mu Tuan, masih banyak kesempatan untuk menemukan kekasih mu." ucap Will.

Melvin menerima roti itu dan memakannya. Meski itu malah membuat perutnya terasa perih karena terlambat.

"Sakit Zav, gue mau masakan lo. Lo masih ada janji mau masakin gue rendang kan?" batin Melvin.

Will menatap Melvin dengan tatapan sendu. Bagaimanapun, Will dapat merasakan apa yang Melvin rasakan saat ini.

"Pulang Zav, gue butuh lo." batin laki-laki itu sembari meremas pahanya.

Tentang Kasta [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang