1

26.2K 507 14
                                    

Bisnis bagi Brian adalah sesuatu yang tidak akan lepas dari hidupnya. Segala untung dan rugi sudah diperhitungkan dengan baik.

Bahkan perusahaannya yang dia rintis dari nol menjadi salah satu perusahaan yang berpengaruh di Asia dan Eropa. Sayangnya, meski memiliki pengaruh besar, Brian masih tidak bisa untuk mengabaikan satu perusahaan yang sudah menjalin kerja sama selama 20 tahun bersamanya.

Perusahaan itu tak lain adalah milik kakeknya sendiri, Mr. Thomas William Santley.  Santley Group bergerak di bidang perhotelan.

Santley Group memiliki cabang di mana-mana dan sudah menjadi perusahaan yang memiliki nama tersendiri. Pelayanan dari perusahaan ini tidak pernah gagal.

Tentu Brian tidak mau melewatkan kerja sama dengan Mr. Thomas. Kakeknya yang culas dan penuh perhitungan bahkan bisa dengan mudah memutuskan kontrak kerja sama dengan cucunya sendiri.

"Brian, bagaimana tawaran kakek? Apa kamu setuju?"

"Tentu, Kek. Saya akan mengambil projek ini," kata Brian tegas.

"Akan tetapi, di sini kakek ada permintaan sebelum kamu memegang projek ini." Mr. Thomas mengangkat wajahnya melihat sang cucu yang terpaku di tempat karena tidak biasanya kakeknya memberikan syarat dalam masalah pekerjaan.

"Apa?"

"Kamu harus menikah dan memberikan keturunan sebagai penerus perusahaan kita."

Brian diam. Dia mendadak seperti orang idiot. Bagaimana mungkin projek sebesar ini dikaitkan dengan penerus perusahaan.

"Kek, kenapa harus membawa masalah pernikahan?" Alisnya mengernyit.

Pria berjas hitam itu mulai menyandarkan tubuhnya di sofa. Dia menatap kakeknya dengan perasaan dongkol.

"Selain masalah bisnis, keluarga kita butuh penerus," kata Mr. Thomas tegas.

Pria beruban itu bangkit dan sedikit membenahi suit armani yang dipakainya.

"Bawa calonmu minggu depan kalau kau menginginkan projek ini," katanya berlalu.

Brian memijat pelipisnya. Dia menghela napas panjang.

Ini masalah untuknya. Masalah beratnya bukan soal wanita ada yang mau sama dia atau tidak. Bahkan banyak wanita dengan rela memberikan tubuhnya dinikmati Brian.

Akan tetapi, tidak ada komitmen atau perjanjian apapun dalam hubungan mereka. Hanya untuk kebutuhan hasrat saja.

Lantas sekarang, di mana dia bisa mendapat wanita untuk dijadikan istri?

Drrttt ....

[Brian, let's go out tonight, Bro.]

Sebuah pesan dari aplikasi hijau muncul di ponsel Brian. Dia segera membalas pesan sahabatnya itu. Sepertinya dia memang butuh untuk menjernihkan pikirannya.

***

Dentuman musik dan lingkuk tubuh yang sedang mengikuti irama musik menjadi pemandangan pertama yang teramat biasa disaksikan netra biru Brian.

Dia berjalan ke arah sahabatnya yang melambai tangan ke arahnya.

"Hello, Bro. Your face is very dark. What is it?"

Brian hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia duduk dan mulai memesan juga.

"Kenapa lo? Baru saja ketimpa durian apa gimana?" tanya pria itu sambil tertawa kecil.

"Gua ketimpa durian masih mending. Ini gua disuruh nikah sama kakek gua," kata Brian.

Ya, dia memang lumayan terbuka sama sosok pria di sampingnya karena mereka sudah menjalin persahabatan selama 8 tahun.

"Nikah gampang, gak mungkin lo gak punya modal," candanya.

"Stev, bukan soal modal. Soal wanita, gua gak punya calon," kata Brian pelan.

Steven Hudson, pria asal Jerman itu mengangguk mengerti. Dia tahu sahabatnya tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita meski sering melihat sahabatnya gonta-ganti pasangan.

"Gua ada teman cewek, cocok menurut gua jika dia jadi calon lo," kata Stev membuat Brian segera menoleh.

"Cewek club?" tanya Brian dengan nada sinis. Dia tahu kalau Steve itu sebelas dua belas dengan dia.

"Enggak, dia cewek baik-baik. Kebetulan saja Anne beruntung punya teman kek dia," jelas Steve dengan sesekali menyeruput winenya.

"Siapa?"

"Besok lo datang aja ke rumah Anne karena di sana ada party ulang tahun adek Anne. Dia pasti ada di sana."

"Hm, ok."

Perjodohan yang dilakukan Steve kepada Brian tidak mendapat penolakan dari pria itu. Dia yakin Steve tidak akan menjodohkannya dengan wanita sembarangan.

"Tapi, lo kagak masalah sama latar sosialnya, 'kan?" tanya Steve tiba-tiba.

"Kenapa? Dia miskin?" tanya Brian tepat sasaran.

"Ya, gak miskin gimana. Cuma bukan dari kalangan yang sama seperti kita," jawab Steve.

"Nggak masalah." Brian yang terbilang cuek soal itu memang tidak mempermasalahkan latar sosial.

Dia punya uang, jadi untuk apa dia cari wanita kaya. Lagian di sini dia fokus untuk mendapatkan projek dari kakeknya Mr. Thomas, bukan untung mendapat istri seperti yang dipikirkan orang.

Akhirnya dia merasa lega dan mengganti topik obrolan dengan Stave yang tidak jauh dari kegiatan masing-masing juga membahas masalah bisnis.

Kedua pria itu tidak sadar jika sudah menghipnosis banyak pasang mata menatap ke arah mereka dengan tatapan lapar.

Dua pria tampan yang diterpa cahaya temaram lampu disko dengan sesekali senyum tipis yang membuat mereka semakin membuat wanita tidak tahan untuk tidak meneguk ludah.

"Thanks for tonight, bro. Next time we meet at the cave apartment."

"Yes, of course. We'll meet some other time."

Brian dan Steve berdiri dan meninggalkan meja bar. Mereka berdua berjalan keluar dari parkiran.

Sampai di sana secara tidak terduga bertemu dengan Anne yang sedang berjalan bersama teman-temannya.

Pakaian terbuka dengan riasan make up yang menggoda membuat Brian memasang wajah datar.

"Wow! You came to the Club, but didn't tell us? You mean Steve!"

Anne mengeluarkan protesnya. Membuat Steve langsung merangkul dan memberikan kecupan singkat di pelipis wanita itu.

"Sabar, Girls. Kami ke sini bukan untuk have fun. However, there is something we have to discuss privately and that will involve you later." Stave memberikan kedipan mata kepada Anne.

"Apa? Kenapa lo main rahasia?" tanya Anne dengan penuh selidik.

"Sabarlah. Gua bakal ngasih tau di party adek lo," kata Stev dan melepas rangkulannya.

Brian yang sejak tadi diam membuat Anne dan yang lain berusaha mengajak pria itu berbicara. Namun, bukan Brian namanya kalau mau basa-basi.

"Eh, Brian, tidak disangka kita akan bertemu dengan keadaan seperti ini," kata Anne mulai menggoda Brian.

Belum sempat gadis itu menyentuh tangan Brian, Brian lebih dulu berjalan menjauh.

"Usahakan cepat, Stev." Pria itu mengangkat tangan dan tetap berjalan memunggunginya sahabatnya.

"Oh, shit! Brian is so hot, even with his voice!" Anne membuat teman-temannya mengangguk setuju.

Setelah itu, mereka berjalan masuk ke dalam Club untuk senang-senang. Steve sendiri ikut menyusul pulang ke apartemennya.

Dia kemudian mencari data tentang gadis yang ingin dia jodohkan dengan sahabatnya--Brian.

"Semoga ini bisa merubah lo, Brian," kata Stev pelan.

Dia melihat ponselnya dengan pandangan menerawang. Apalagi saat melihat sekumpulan foto keluarga yang membuat hatinya berdenyut sakit.

"Lo pantas bahagia, Brian."

***

TBC.

Istri Dingin Tuan MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang