Bab 30

5.7K 160 9
                                    

Warning ⚠️
Di bawah adalah bab yang mengandung adegan dewasa 🔞
***

Kinsley dan Brian kini duduk di salah satu sudut santai di rumah mereka. Dari balkon, pemandangan kota terbentang luas, namun keduanya masih terdiam setelah keluar dari ruangan khusus yang dibuat Brian.

Mata Kinsley sembab dan merah, bukti dari air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali menangis sehebat ini—mungkin saat boneka beruang kesayangannya hanyut di pantai ketika bermain bersama orangtuanya. Tapi kali ini, tangisnya lebih dalam dan pilu, bahkan lebih dari ketika cintanya kandas di masa lalu.

Brian yang duduk di sampingnya, meraih tangan Kinsley dengan lembut. Jemarinya yang hangat mengelus punggung tangan istrinya, penuh rasa sayang dan pengertian. Sentuhan itu membuat Kinsley mengalihkan pandangannya, menatap suaminya dengan mata yang masih basah.

“Sayang, aku yakin bisa sembuh, terutama sejak kamu hadir di hidupku. Rasa takutku tak sebesar dulu,” ungkap Brian dengan suara rendah namun penuh keyakinan.

Kinsley menghela napas panjang, kekhawatiran tentang kondisi mental Brian tak pernah jauh dari pikirannya. “Aku berjanji, mereka tidak akan bisa menyentuhmu lagi. Jika sampai mereka mencoba, bolehkah aku menggunakan kekuasaanmu?” tanyanya dengan nada serius, matanya menatap dalam ke arah suaminya.

Brian mengangguk tanpa ragu, menunjukkan kepercayaan penuhnya pada Kinsley. Baginya, sejak menikah, semua harta dan kekuasaannya adalah milik mereka berdua. Sementara itu, Kinsley sebenarnya enggan menggunakan kekuasaan suaminya, tetapi menghadapi keluarga Shaw, ia tahu dirinya bukan siapa-siapa. Apalagi mengingat perlakuan keji yang diterima Brian dari keluarga yang seharusnya menyayanginya.

"Aku tidak perlu menghargai orang seperti mereka. Biarkan saja keluarga Brian menanggung akibat dari perbuatan mereka di masa lalu,"batin Kinsley.

Dia tersenyum samar, memandang suaminya dengan penuh cinta. "Apa kamu tidak akan kembali ke kantor?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana.

Brian melirik jam di pergelangan tangannya dan menggeleng. Sudah sore dan ia merasa lebih dibutuhkan di rumah.

“Sayang,” ujarnya, senyumnya berubah menjadi nakal, “aku pernah dengar kalau suami-istri habis berantem paling bagus untuk berdamai dengan cara itu.”

Pipi Kinsley langsung merona merah. Dia berdecak kecil, meski dalam hatinya berdebar kencang. Kenapa dia harus malu? Bukankah ini bukan pertama kalinya?

"Kita bukan habis berantem. Tapi habis nangis bareng," kata Kinsley membuat suaminya malah melebarkan senyum dan menghapus jejak air mata di pipi istrinya.

"Sempat," ujar Brian pelan. "Jadi, apa kamu mau menerima ajakan suamimu ini, Sayangku?"

"Baiklah, tapi biarkan kali ini aku yang memimpin di atasmu," kata Kinsley, membuat Brian terkejut dan menganga tak percaya. Biasanya Kinsley tak seagresif ini, apalagi soal ranjang.

***
Anna mengaduk minumannya pelan-pelan, mencoba menenangkan hatinya yang kacau. Matanya terus menatap Steve yang duduk di sebelah, mengisap rokok dengan pandangan kosong. Kerutan di dahi Steve memperlihatkan beban yang dia bawa, meskipun dia berusaha terlihat santai.

"Lo masih belum jawab pertanyaan gue, Steve. Siapa cewek itu?" Suara Anna serak dan kesal, batas kesabarannya hampir habis.

Steve memicingkan mata, senyumnya penuh teka-teki. "Oh, cewek itu? Dia cuma seseorang yang senang memeriksa isi hati gua," jawabnya santai, menghembuskan asap rokok dengan elegan.

Anna menghela napas panjang, semakin tak sabar. "Steve, gue serius. Berhenti bercanda. Gue pengen tahu siapa dia dan apa hubungannya sama Brian. Ini soal urusan hati Kinsley. Bestie tercinta gue. Jangan sampai dia diselingkuhi beneran sama Brian. Gue nggak akan pernah rela dan orang pertama yang akan gue pukul itu lo. Jadi, jelasin! Buruan!"

Istri Dingin Tuan MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang