Bab 57

1K 70 12
                                    

Wanita itu berdiri di dekat jendela, pandangannya menembus kaca, menatap jauh ke luar. Bayangan wajah suaminya muncul di benaknya, seolah memanggil kenangan-kenangan manis yang mereka bagi bersama. Ia tenggelam dalam nostalgia yang mendalam, seakan dunia di sekitarnya lenyap begitu saja.

Ruangan ini, yang sebelumnya hanya ia kunjungi sesekali karena sibuknya pekerjaan, kini menjadi tempatnya menghabiskan banyak waktu. Namun, ruang ini terasa hampa tanpa kehadiran sosok yang seharusnya ada di sana.

"Bagaimana jadinya kalau waktu itu aku tidak keras kepala soal proyek itu?" gumamnya dalam hati, penuh penyesalan. Suaminya sebenarnya sudah menawarkan pekerjaan lain. Namun, rasa tanggung jawabnya terhadap proyek itu membuatnya menolak.

"Semua pasti berbeda. Brian tidak akan marah, dan hidupku tidak akan terancam. Ini semua salahku," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Ia memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang seolah berlomba untuk jatuh. Menangis hanya akan menambah rasa sakit di kepalanya, yang masih tersisa dari efek alkohol semalam. Beruntung, pagi ini ibunya menyiapkan sup hangat yang membantu meredakan sisa-sisa mabuknya.

"Kin, lo baik-baik aja, kan? Gue liat lo murung dari tadi," suara Anne tiba-tiba terdengar, memecah lamunannya.

Kinsley tersentak, menoleh dengan kaget. "An, dari tadi lo di situ?" tanyanya, baru menyadari kehadiran sahabatnya.

"Nggak, gue baru masuk mau ngajak lo makan siang," ujar Anne dengan senyum lembut.

Kinsley menggeleng pelan. "Gue ... kayaknya nanti aja, deh." Selera makannya hilang, pikirannya masih tertuju pada suaminya. Belum ada kabar dari Dokter Elena.

Anne menatap Kinsley dengan cemas. "Lo cerita deh sama gue, Kin. Ini bukan lo banget," pinta Anne lembut. Ia tahu ada yang berat dipikul sahabatnya.

Kinsley ragu, namun ia butuh Anne. "Gue belum dengar kabar dari Dokter Elena. Gue takut, An. Gue takut Brian kenapa-napa," kata Kinsley, suaranya bergetar.

Anne terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Gimana kalau siang ini kita ke sana? Gue bisa batalin meeting lo sama klien. Gimana?" tawar Anne dengan tekad bulat.

Kinsley menghela napas panjang. "Steve bilang kita harus ketemu klien ini. Penting katanya," jawab Kinsley dengan nada lemah.

Anne tersenyum, menepuk bahu Kinsley. "Klien penting, tapi lo lebih penting. Gue yang urus, ya? Perusahaan Brian nggak bakal bangkrut cuma karena satu klien. Biar gue yang batalin," ujar Anne penuh keyakinan.

Kinsley menatap Anne, merasa lega. "Ya, sudah, lo cancel," ucapnya sambil tersenyum kecil, membuat Anne ikut tersenyum.

***

Jantung Kinsley berdegup kencang saat ia melangkah memasuki koridor rumah sakit. Rindu yang mendalam akan suaminya semakin menyengat, tetapi kekhawatiran dan ketidakpastian menyelimuti pikirannya. Kenapa Brian tidak menelepon? Apa yang sebenarnya terjadi?

"Permisi, Sus, saya mau tanya, ruangan pasien atas nama Brian Holland Santley di mana?" tanya Kinsley, suaranya bergetar saat mendekati meja resepsionis.

Suster di belakang meja itu menatapnya dengan ramah. "Tunggu sebentar, ya. Saya cek dulu." Dia mengetik di komputer, namun ekspresi wajahnya segera berubah serius. "Maaf, saya tidak bisa memberikan detail tentang pasien di ruang isolasi. Namun, saya bisa memberitahu Anda bahwa dia tidak dapat dijenguk saat ini."

"Tidak bisa dijenguk? Tapi saya istri Brian! Tolong, saya perlu tahu apa yang terjadi padanya!" Kinsley mendesak, nada suaranya penuh kepanikan.

Suster itu terlihat ragu sejenak. "Saya mengerti, tapi prosedur kami untuk pasien di ruang isolasi sangat ketat. Saya tidak bisa memberikan informasi lebih lanjut."

Kinsley merasa seolah dunia di sekelilingnya berhenti. Tubuhnya lemas, dan Anne, yang berdiri di sampingnya, cepat-cepat memegang lengan Kinsley agar tidak terjatuh. "Ruang isolasi? Apa yang terjadi pada Brian?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.

"Kin, kita harus ke ruangan Dokter Elena," kata Anne, berusaha menuntunnya menjauh dari meja resepsionis. Wajahnya menunjukkan kepedihan yang dalam, menyadari betapa hancurnya sahabatnya.

Mereka berjalan cepat menuju ruangan Dokter Elena, tetapi Kinsley merasakan ketegangan di udara. "Kenapa tidak ada yang memberi tahu aku? Ini tidak masuk akal!" Kinsley menggeram, emosinya mulai meledak.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di depan ruangan Dokter Elena. Seorang suster menghampiri mereka, tatapan matanya menunjukkan empati yang dalam. "Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, suaranya lembut.

"Sus, Dokter Elena ada?" tanya Anne, dengan nada harap namun cemas.

"Maaf, saat ini Dokter Elena sedang menangani pasien di ruang isolasi. Saya tidak bisa memastikan kapan beliau akan kembali," jawab suster itu, wajahnya menunjukkan rasa menyesal.

Kinsley merasakan seolah semua harapan mulai pudar. Ia duduk di salah satu kursi rumah sakit, wajahnya pucat. Anne segera duduk di sampingnya, mengusap bahu sahabatnya yang bergetar.

"An, ini semua tidak benar, 'kan? Nggak mungkin Brian di ruang isolasi. Apa ... apa itu tandanya dia ...." Kinsley tidak bisa melanjutkan kalimatnya, napasnya tercekat, matanya berair.

"Kin, kita belum tahu apa-apa. Jangan berasumsi sebelum kita mendapatkan informasi yang jelas. Gue paham lo khawatir, tapi kita harus tetap tenang," pinta Anne, berusaha menenangkan Kinsley.

"Tenang? Bagaimana bisa tenang ketika suami gue mungkin dalam bahaya?" Kinsley menatap Anne dengan mata penuh kecemasan. "Gue harus tahu apa yang terjadi."

"Baiklah, kita cari cara lain. Mungkin kita bisa tanya ke dokter lain atau cari tahu informasi lebih lanjut," sahut Anne, berusaha mencari solusi.

Setelah beberapa saat menenangkan diri, Kinsley berusaha berdiri, siap mencari dokter lain. Namun, langkah mereka terhenti ketika ponsel Anne bergetar, memecah keheningan.

"Steve," kata Anne, melihat layar ponsel dengan ekspresi ragu.

"Jangan diangkat," Kinsley menggelengkan kepala, wajahnya penuh ketegangan.

"Kenapa, Kin?" tanya Anne, bingung.

"Gue curiga Steve sengaja menghalangi gue untuk bertemu Brian. Gue rasa dia tahu sesuatu yang tidak dia ceritakan," jelas Kinsley, suaranya bergetar antara kemarahan dan kepanikan.

"Lo serius? Kenapa dia harus melakukan itu?" wajah Anne berubah, bingung sekaligus marah. "Kalau itu benar, kita harus cari tahu alasannya."

"Dia selalu menyimpan rahasia. Gue nggak mau lagi terjebak dalam kebohongan," Kinsley berkata tegas, matanya berapi-api.

"Kin, kita harus-"

"Jangan angkat telponnya, An!" Kinsley memotong, suaranya penuh tekanan. "Bisa jadi ini semua bagian dari rencananya."

***

TBC

Terima kasih voting dan supportnya Guys😘😍

Istri Dingin Tuan MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang