Bab 31

5.9K 216 23
                                    

Wajah Brian yang suram membuat Steve meneguk ludahnya berkali-kali, bibirnya terus dibasahi seolah berharap nasibnya akan membaik. Bayangan yang baru saja dilihatnya—Brian dan Kinsley di bawah selimut, tubuh mereka tanpa sehelai benang pun—terus menghantui pikirannya.

"Sial, kenapa otak gua nggak bisa lepas dari warna bra menyala Kinsley," batinnya penuh kegelisahan.

Tatapan tajam Brian seperti pisau, menusuk langsung ke arah Steve. "Lu masih waras gerebek gua sore-sore gini di kamar gua?" suaranya terdengar seperti interogasi, membuat udara di sekitar mereka semakin tegang.

Steve meringis kecil, mencoba menenangkan dirinya. "Gua kira lu lagi kambuh penyakitnya," jawabnya dengan suara tak enak hati.

Brian mendengus, matanya sejenak beralih, namun rasa kesalnya jelas terlihat. Aktivitas pribadinya terganggu, dan pakaian dalam istrinya terlihat jelas oleh sahabatnya, semua itu membuat darahnya mendidih.

"Urusan lu udah selesai, 'kan? Pulang sana," ucap Brian dengan nada memerintah, tak ingin berlama-lama di sini.

Steve mendesah, tahu bahwa ada sesuatu yang lebih penting yang harus disampaikan. "Gua tahu lu masih mau melanjutkan yang tadi, tapi gua ke sini karena ada berita penting," katanya, tatapan tajam dari Brian langsung menyambutnya. "Gua liat Davis dan Aloandra bersama dia kafe sore ini. Pasti mereka punya rencana lagi," lanjutnya cepat.

Perubahan terjadi pada raut wajah Brian. Mata yang semula marah kini semakin gelap, seolah siap menelan informasi yang baru didapatnya.

"Awasi mereka, gua belum dapat laporan apapun dari Kinsley tentang proyek kafe dan sebelum kita mengantongi semua bukti tetap bertindak seolah tidak tahu apapun," perintah Brian.

"Baik, gua pastikan semua akan berjalan sesuai rencana kita."

Wajah Brian masih penuh kemarahan yang tertahan. Steve, yang merasakan ketegangan itu, menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat untuk pergi. Dengan hati-hati, dia pamit dan meninggalkan Brian yang masih mengepalkan tangan kuat-kuat.

Setelah Steve pergi, Brian tetap di sana dengan tatapan mata gelap. Suasana makin mencekam, dan Brian tahu bahwa informasi yang baru saja diterimanya akan mengubah segalanya.

***

Kinsley yang baru selesai mandi akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar setelah hampir satu jam Brian tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaannya. Dengan langkah pelan namun pasti, dia menuju ruang santai. Di sana, Brian duduk di sofa dengan wajah termenung, pandangannya kosong seakan mengarungi lautan pikiran.

Tanpa ragu, Kinsley mendekat dan duduk di sampingnya. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya, sesuatu yang tidak biasa.

"Brian," panggilnya dengan lembut, suaranya seperti aliran air yang menenangkan, sambil menggenggam tangan suaminya dengan hangat. "Ada masalah?"

Brian tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya, dan menggeleng kecil. Dengan gerakan pelan namun pasti, dia menarik Kinsley ke pangkuannya, memeluknya erat. Dia menghirup dalam-dalam aroma tubuh istrinya yang segar setelah mandi, seolah mencari ketenangan dalam wangi tersebut. "Sayang, selama di tempat kerja, kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya penuh perhatian, nada suaranya mengandung kekhawatiran yang mendalam.

Kinsley mengangguk, raut wajahnya penuh kebingungan. "Iya, aku baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba kamu bertanya begitu?" tanyanya dengan mata yang menyelidik, mencoba mencari petunjuk di wajah suaminya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya khawatir kalau-kalau ada yang tidak menyenangkan terjadi padamu," jawab Brian, suaranya lirih namun jelas.

Kinsley tertawa kecil, suara yang jarang terdengar namun begitu menenangkan. "Kamu pikir Aloandra akan menggangguku?" katanya ringan, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. "Dia tidak akan berani. Kami memang sering bertemu di lokasi, tapi itu saja."

Istri Dingin Tuan MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang