1. Dana: Project Deadline

4.2K 106 5
                                    

DANA
"Project Deadline"

○●○

Deadline is a bitch.

Aku menghabiskan enam bulan lebih untuk mengerjakan proyek animasiku yang berada diambang deadline. Aku lupa membersihkan rumah, tidak mencuci piring selama satu minggu, dan kamarku penuh pakaian kotor yang belum ditata ke dalam mesin cuci.

Aku mengeluarkan lidah sambil memutar mata jijik saat melihat lusinan tikus membentuk sebuah benteng di depan pembuangan tempat sampah. Dengan terpaksa aku menerobos masuk gang penuh tikus ini sambil menggenggam dua tas plastik hitam berisi sampah selama seminggu.

Sepatu hakku beberapa kali menginjak remahan roti lawas yang memenuhi tanah aspal. Tanpa menunggu lebih lama aku langsung melemparkan dua tas plastik tersebut ke dalam tong sampah sebelum mendengar suara mencicit dari dalam tempat sampah tersebut.

Nah ... that is not my fault. Tikus tersebut terlalu buta untuk tidak melihat dua tas besar yang hendak menghujani mereka—bahkan juga berpotensi untuk mematahkan tulang mereka.

Aku merapikan kemeja putihku, membenarkan kancing di depan dada yang terbuka setelah ratusan kali aku mengancingnya. Aku tidak paham kenapa para desainer baju tidak mengukur kemeja wanita sesuai dengan ukuran dada mereka.

Kancing ini sangat menyesatkan. Aku tidak tahu kenapa kode pakaian perusahaan ini masih berlaku padahal banyak wanita sudah mengkomplain mengenai betapa tidak nyamannya pakaian yang dikenakan. Lagipula aku bekerja di divisi animasi, kami tidak perlu berpakaian terlalu formal saat kerja.

Semua ini tidak akan terjadi jika aku tidur nyaman tadi malam. Seharusnya ada petugas pembersih yang akan mengambil sampah setiap hari, tapi hari ini aku bangun terlalu kesiangan dan telat menemui petugas kebersihan.

Aku tahu ini bukan pertama kalinya, tapi aku harus mengatakan bahwa semua ini sangat melelahkan. Hidupku sangat melelahkan, tapi aku juga masih beruntung karena aku menemukan jangkar hidupku.

Aku kembali menaiki lift apartemen lantai tiga, menunggu bunyi lonceng lift bunyi sebelum melangkahkan kaki masuk ke pintu apartemen dengan nomor tujuh yang terpampang jelas di depan pintu kayu.

"Ma ... ayo berangkat, aku akan telat lagi."

Aku menarik napas dalam, mencuci tangan di wastafel sebelum memasang jas hitam yang sudah aku siapkan di atas konter dapur.

"Ya, kau benar ... Bu Winona sudah mulai mengajarimu berhitung?" Aku bertanya, mengusap wajahku yang berkeringat sebelum mengambil tasku yang ada di dapur.

"Pengurangan. Aku tidak suka, penjumlahan lebih baik." Ia mengerucutkan bibir, menali sepatunya dengan tidak rapi sebelum menggandeng tanganku dengan sekuat tenaga.

Kami berdua keluar dari apartemen, berjalan ke dalam lift sebelum berdiri selama sepuluh menit di depan halte untuk menunggu bus. Rutinitas sehari-hari kami selalu sama: bangun tidur, sarapan, menunggu bus, sekolah, bekerja, lalu pulang dan meratapi nasib mengerikan selama kami bernapas.

Meskipun masih pagi, aku sudah dapat membau asap mobil yang menyeruak ke dalam hidup. Bau gasolin dan bau pohon palem bercampur menjadi satu. Aku memang sudah terbiasa dengan baunya, tapi aku ingin keluar kota jika ada uang lebih bagiku untuk pindah.

Aku mengecek arloji di pergelangan tangan. Sekarang sudah pukul sembilan lebih, aku seharusnya tiba di kantor sebelum jam sembilan. Direktur akan kembali mengomel saat menemukanku telat lebih dari beberapa kali.

"Ma! Busnya datang." Lucy melompat-lompat kecil sampai topi rajut yang dikenakannya hampir terselip dari rambutnya jika aku tidak menahannya.

Aku mengangguk, menarik tangan Lucy sebelum membantunya naik ke atas bus. Kami duduk di bagian depan pintu, Lucy selalu suka kursi bagian ini karena ia dapat melihat pohon palem di sepanjang jalan dan menghitungnya.

Reverie's Project [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang