"Mona itu anaknya lemah lembut, Pak. Bapak dengar aja kalau Mona bicara selalu sopan, mana mungkin dia tega bunuh sahabatnya yang sudah Mona anggap seperti saudari sendiri," ujar Soraya.
Buah bibir Seto menyunggingkan senyum miring. "Gaya bicara bukan jadi tolok ukur sifat seseorang. Kalau cuma modal ngomong aku-kamu, pembunuh berantai juga mampu," selorohnya ketus.
Soraya yang saat itu duduk di stage kosong samping brankar yang tak berisi pasien--di sebelah brankar Mona--menggigit bibir bawahnya.
"Saya cuma pengen dengar cerita Ibu yang katanya kenal sama korban dan tersangka, bukan untuk dengar kalimat-kalimat yang bikin gendang telinga saya mau pecah." Seto rupanya tak mengenal umur dan gender ketika menjalankan tugas.
"Maaf, Pak," cicit Soraya dengan kepalanya yang menunduk dalam.
Seto berdecih. "Ya udah, mana informasinya? Saya mau denger," titahnya tak sabaran.
"Tapi Bapak janji, ya, bakal bebasin Mona?" Dengan kepala mendongak, Soraya menatap Seto penuh harap.
Detektif itu mendelik kala mendengar permintaan terlalu tak masuk akal Soraya. Seolah menganggap jika perbuatan Mona hanya sekadar membuat Kai menangis setelah mainannya direbut paksa. "Ibu, saya masih tahan emosi, lho, ini. Jangan sampai saya meledak-ledak dan mengganggu tersangka yang sedang istirahat."
Mungkin jika di dalam ruangan itu terdapat Ari, pria itu pasti akan menyahut, "Tapi cara bicara Bapak juga bisa bikin Mona bangun."
Air muka Soraya menekuk, bibirnya sampai mencuat maju cemberut. "Kalau janji Bapak panggil Mona sama Kai namanya aja tanpa embel-embel tersangka dan korban, gimana?" Rupanya ia belum menyerah.
Seto sontak bangun sebab kekesalannya sudah berada di puncak. Namun, tak lama kemudian, ia kembali duduk setelah mengatur deru napas. Sangat jarang terjadi untuk Seto yang dikenal memiliki kesabaran setipis bulu. "Ya udah, setuju-setuju."
Tampak sumringah wajah yang Soraya tampilkan. Dengan telaten, wanita pengurus panti asuhan itu memulai ceritanya.
Minggu, 25 September 2022, pukul 09.15 WIB mobil Toyota Avanza berhenti tepat di sebuah gerbang bercat hijau botol setinggi dagu.
Seorang gadis remaja turun dari sana, lalu berlanjut dengan sang supir taksi online yang segera membuka bagasi.
Sedangkan, gerbang yang sebelumnya tertutup itu, ditarik oleh sebuah tangan. "Kai, udah aku bilang nggak perlu bawa apa-apa kalau ke sini," omelnya. Ia Mona dengan tubuh berbalut sheath dress warna baby blue sepanjang lutut.
Kai tak terlalu mempermasalahkan omelan Mona atau lebih tepatnya tidak mau perduli, ia lebih memilih fokus membantu driver menurunkan beberapa kardus dan dua buah paper bag.
Mona sudah berada di luar. Tangannya berkacak pinggang dengan mulutnya yang mengerucut. "Kai mah ih, kalau aku kasih tahu tuh selalu nggak pernah mau denger. Kamu belanja sebanyak ini buat apa, Kai?" Dan omelan itu masih berlanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Refrigerator
Mystery / ThrillerMona terbangun dari koma dalam kondisi tangan diborgol tanpa tahu apa yang telah dirinya perbuat. Dituduh menjadi pembunuh teman akrabnya, Mona tidak bisa berkutik saat bukti-bukti kuat menjurus kepadanya. Lantas, bagaimana nasib Mona setelah itu? H...