Bacanya pelan-pelan, ya.
Brak!
Pintu mobil ditutup setelah tubuh berhasil duduk di kursinya. Ari yang berada di balik kemudi diam dengan kepala yang teramat penuh, sedangkan Seto yang tengah memasang seatbelt tampak baik-baik saja.
"Pak," panggil Ari. Tubuhnya menyamping menghadap penuh sang senior.
Seto menoleh dengan alisnya yang terangkat satu. "Saya tahu apa yang mau kamu bicarakan."
"Pak, saya yakin--"
"Mona nggak bersalah," cepat Seto memotong ucapan Ari.
Detektif itu berdecih, sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. "Cuma karena rekaman CCTV, kamu jadi goyah, Ari?"
"Saya bukannya goyah, Pak. Dari awal saya memang yakin kita salah menangkap orang," ungkap Ari dari lubuk hatinya. Meski detektif ini selalu bersikap tak tegas dalam menyelidiki suatu kasus, untuk kali ini ia merasa banyak kejanggalan.
"Kamu ini kenapa sih? Semua bukti dan motif tertuju pada Mona, kamu nggak bisa ngelak akan hal itu." Seto tampak geram, sesekali wajahnya ia usap frustasi.
"Bisa aja bukti-bukti yang kita temukan itu palsu, Mona cuma dijadikan kambing hitam. Lagipula, motif Mona terlalu sederhana untuk dijadikan alasan melenyapkan nyawa temannya sendiri," ucap Ari menggebu-gebu.
Brak!
Amarah Seto tak bisa terus ditahan. Menatap si junior dengan tatapan tajam seolah belati yang mampu menusuk ulu hati.
"Pekerjaan kita mengandalkan bukti. Jangan gunakan nurani di saat seperti ini, tapi logika. Pakai logika kamu!" Jari telunjuk Seto mengarah lurus ke kening lawan bicara.
Ari sontak bungkam. Gigi-giginya bergelemetuk menahan agar tak berapi-api.
"Sadar. Saya mohon kamu sadar!" Suaranya terdengar sangat frustasi, Seto bahkan menampakkan air muka yang tak biasa. Seolah memohon dengan sangat agar Ari tidak mudah goyah.
Namun, rupanya dua detektif itu memiliki satu kesamaan; keras kepala. Ari memalingkan wajah untuk sekadar mengatur deru napas.
"Kita terlalu fokus sama Mona, Pak, sampai melupakan kemungkinan kalau--"
"Astaga, Ari .... Kamu benar-benar bikin saya kehilangan kesabaran ternyata." Seto geram. Napasnya terdengar begitu jelas di telinga, menandakan beliau tengah sungguh marah.
Meski begitu, Ari tak ada takut-takutnya. Ia tetap teguh dalam pendiriannya.
"Saya juga sadar, Pak, ini terlalu seperti omong kosong. Saya juga tahu, saya nggak seharusnya pakai nurani. Tapi sejak pertama kali ketemu Mona, entah kenapa saya yakin jika dia bukan pembunuh sebenarnya," tutur Ari panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Refrigerator
Mystery / ThrillerMona terbangun dari koma dalam kondisi tangan diborgol tanpa tahu apa yang telah dirinya perbuat. Dituduh menjadi pembunuh teman akrabnya, Mona tidak bisa berkutik saat bukti-bukti kuat menjurus kepadanya. Lantas, bagaimana nasib Mona setelah itu? H...