13. Pernyataan Cinta

91 12 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sebelum sepakat menjelaskan kesaksiannya, Emil mengajukan syarat untuk diperbolehkan berkunjung ke ruang rawat inap Mona.

Dengan waktu terbatas, kursi tunggu tepat di sebelah brankar Emil duduki. Sorot mata sarat akan segala macam bentuk emosi terarah ke Mona yang masih memejamkan mata.

Waktu terus terbuang sia-sia dengan Emil yang tidak melakukan apa-apa. Beberapa menit kemudian, terdapat pergerakan kecil pada tubuh Mona. Pemuda itu sontak membenarkan cara duduknya lebih tegak.

Kelopak mata Mona terbuka perlahan-lahan. Saat sudah sepenuhnya terjaga, gadis itu dibuat terjingkat oleh kehadiran Emil. Meski, tak lama kemudian, air muka antusias terpasang di wajahnya.

"Emil ..., kamu dateng?"

"Menurut lo aja gimana," sahut si pria tak suka.

Mona sepertinya melupakan jika Emil adalah orang yang berduka atas kepergian Kai. Tentu saja dirinya sudah menjadi bagian dari orang yang Emil benci.

Kepala Mona tertunduk, buah bibir ia ulum, lantas menggigit bibir bawahnya. Sebuah perilaku yang menunjukkan kesedihan, atau mungkin rasa sesal?

"Kai baik banget, lho, sama lo, Mon. Kok, lo tega sih habisin nyawa dia?" tanya Emil menggebu-gebu.

Kalimat pertama Emil rupanya sudah diprediksikan oleh Mona. Meski begitu, si gadis tidak mampu menampiknya dengan pembelaan.

"Apa kurangnya Kai di mata lo, Mon? Yang gue tahu, Kai yang cuma berperan jadi teman lo itu selalu penuhin apapun kebutuhan lo tanpa pamrih. Bahkan, dia bisa jadi mesin ATM yang kapan aja lo butuhkan. Dia sebaik itu." tutur Emil penuh penekanan, di setiap katanya terdengar rasa frustasi. Terlalu tak menyangka dengan apa yang telah terjadi.

Pemuda itu meraup wajah menggunakan kedua telapak tangan. "Kalau aja malam itu gue nggak turutin kemauan Kai. Gue anterin dia sampai depan rumah dan pastiin dia masuk dengan selamat, mungkin sampai sekarang Kai masih hidup," gerutunya menyesal.

Isak tangis tertangkap di indera pendengaran Emil, menarik si empu untuk menatap lawan bicara kembali.

Melihat perawakan Mona yang masih dibilang memprihatinkan, tidak ada sedikitpun rasa iba hinggap di hati Emil. Pemuda yang dikenal dengan kepribadian paling baik, tapi kini menjadi orang tak kenal kata maaf-memaafkan.

"Ngapain nangis, sih? Biar gue kasihan sama lo? Biar gue bela lo dengan bilang lo udah difitnah, gitu?"

Mona terangguk-angguk di tengah tangis tanpa suara.

Emil terkekeh-kekeh, semakin tak mengerti dengan jalan pikiran Mona. "Setelah kecelakaan, kayaknya otak lo ikut geser deh. Kalau nggak gitu, mana mungkin minta bantuan dari orang yang turut jadi korban atas tindakan keji yang udah lo lakuin!" tukasnya bengis sambil menunjuk lurus wajah Mona.

"Nggak, Emil. Itu nggak bener. Aku emang difitnah--"

"Siapa yang fitnah? Itu fakta. Ada bukti dan motif, artinya lo emang bajingan, Mona. Kai udah kasih lo hidup yang nggak bisa orang lain kasih, tapi justru lo balas dengan hal nggak masuk akal. Dikira nyawa bisa diisi ulang, seenaknya lo habisin nyawa Kai. Lo emang setres!"

In The RefrigeratorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang