16. Sekawan Lama

83 13 0
                                    

.

"Cold Brew satu, ya, Kak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Cold Brew satu, ya, Kak." Barista itu mengulang menu yang Ari pesan.

"Iya."

"Untuk pembayarannya pakai debit atau cash?"

"Cash," jawabnya seraya meraih dompet di saku celana belakang.

"Pakai debit, Mbak. Cold Brew dua."

Sebuah tangan menyerobot, memberikan sebuah kartu kredit ke sang Batista yang tampak kebingungan. Sama halnya dengan Ari yang sontak menoleh.

Rupanya itu Edward, si pengacara yang menggulung lengan kemejanya sampai siku. "Ambil, Mbak," titahnya.

Barista itu terkesiap. "Eh, iya. Maaf, Kak," katanya seraya menerima kartu. "Jadi Cold Brew dua, totalnya sembilan puluh delapan ribu, bayar pakai debit, ya, Kak," ucap si Batista, lantas mengembalikan kartu kepada Edward setelah menyelesaikan proses pembayaran. "Ini, Kak. Ditunggu, ya."

Ari menatap penuh Edward dengan sorot marah, sedangkan yang ditatap tampak santai menyimpan kartu ke dalam dompet. "Gue masih sanggup bayar kopi sendiri," cibirnya ketus.

"Yang bilang lo nggak sanggup bayar siapa, Ri?" Edward masih santai membalikkan pernyataan. "Maaf kalau lo salah paham, tapi ini satu-satunya cara biar kita ketemu."

Memilih tak acuh, si detektif membuka dompet dan uang kertas merah muda diserahkan. "Ambil. Gue anti punya hutang, apalagi hutang ke orang kayak lo."

"Gue nggak ngutangin lo," sahut Edward. Enggan meladeni Ari, si empu melenggang menghampiri meja yang kosong tak jauh dari meja barista.

Sudut bibir Ari terangkat sinis, memandang kesal pengacara yang sudah mendudukkan diri di kursi kayu. Si empu segera balik kanan, memilih kursinya sendiri.

Edward hanya bisa menghela napas melihat tingkah kawan lamanya itu. Tak bisa dipungkiri, drama percintaan dalam pertemanan begitu menyakiti hati Ari.

"Atas nama Ari," seru barista menggema di penjuru bangunan yang mayoritas dikunjungi para remaja.

Pemilik nama hendak berdiri, namun Edward lebih dahulu menghampiri asal suara untuk menerima dua cup berukuran 473 ml berisi racikan arabika dengan rasa manis meski tanpa gula.

Ari lagi-lagi dibuat speechless dengan tingkah Edward yang seenaknya sendiri, dan kembali dibuat tak habis pikir kala pengacara itu memintanya untuk mengekor sampai luar.

Seharusnya Ari enggan seperti yang biasa ia lakukan sejak tujuh tahun terakhir. Namun, entah dorongan dari mana, titah Edward dituruti tanpa bantahan.

Sudah di teras coffee shop, Ari menghentikan langkah. "Sini punya gue," katanya seraya mengadahkan tangan.

"Masuk mobil," titah Edward terdengar tak mau dibantah. Si empu hendak membuka pintu, namun niat itu diurungkan. "Tolong bukain pintunya, tangan gue penuh."

In The RefrigeratorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang