14. Takdir Hidup Emil

81 14 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Semenjak Emil datang, pikirannya terus tak tenang.

Meski hilangnya sebagian ingatan menyematkan Mona dari jeruji besi--untuk saat ini. Namun, semakin lama, semakin membuat gadis itu tersiksa.

Mona melupakan hal terpenting yang menjadi jawaban dari rasa ingin tahu semua orang. Entah dirinya memang bersalah, atau Mona menjadi saksi kunci dalam lenyapnya nyawa sang sahabat.

Hingga, percakapan dua puluh menit lalu kembali memutar di kepala.

"Seharusnya gue nggak ikut pulang ke Jember. Gue seharusnya ikutin apa yang Kai mau untuk menetap di Jakarta." Emil masih merutuki diri sendiri.

Dengan menggunakan punggung tangan, Emil terus menghapus derai air mata yang menetes di pipi.

"Kai bilang nggak kuat kalau kita LDR, karena yang dia butuhin raganya, bukan cuma sekadar tanya kabar lewat layar." Emil menarik napas usai suara yang keluar terdengar bergetar. "Gue panik saat Kai bilang pengen putus. Nomor dan semua sosmed Kai blok biar gue nggak bisa hubungin dia."

Mona diam mendengarkan, sebab jika ikut berbicara, sudah dipastikan Emil akan marah.

"Dan tanpa pikir panjang, pagi-pagi buta gue putusin untuk ke Jakarta ... demi dia. Demi Kai yang justru main gila di belakang gue."

"Emil ...."

"Sialnya, nasib gue buruk banget. Baru gue merasa tenang lihat Kai baik-baik aja, tapi Tuhan malah uji gue lagi dengan ambil Mama untuk selama-lamanya."

Kesedihan Emil semakin tidak terbendung, suara isakannya terdengar begitu menyesakkan sampai membuat Mona semakin deras mengeluarkan air mata.

Brak!

Pemuda itu memberikan pukulan pada lemari nakas, dan berhasil membuat Mona terjingkat kaget.

"Diputusin, ditinggal Mama, Kai dibunuh, dan disukai pembunuh!" ucapnya bersama buah bibir yang merekah. "Bagus banget, di 'kan, takdir hidup gue, Mona si pembunuh?"

Mona menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak, Emil. Semua itu nggak bener, aku benar-benar difitnah."

"Argh!"

Sontak Mona memejamkan matanya kala Emil meraung keras. Pemuda itu lantas berdiri, menunjuk lurus si gadis serta netra yang menatap tajam, seolah ada belati di sana yang mampu menusuk hati Mona.

"Lo diem. Lo diem! Jangan kasih pembelaan kalau lo difitnah, karena benalu kayak lo emang selalu busuk hati," papar Emil sarkas. "Gue jadi paham kenapa Kai dengan brutalnya pukul lo malam itu."

Mendengar ucapan Emil yang tidak ia ingat menciptakan raut bingung di wajah Mona.

"Karena lo emang nggak tahu diri."

Mona meraup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. Ia sungguh ingin berteriak keras, namun sadar tengah ada di mana ia sekarang.

Gadis itu menurunkan tangan, lalu menghapus kasar bercak air mata.

In The RefrigeratorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang