2. Pengacara

145 25 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Sejak pagi buta, Mona sudah terjaga. Tidurnya tidak bisa nyenyak, mustahil juga seperti itu. Pikirannya terus terusik. Banyak pertanyaan yang ingin segera mendapat jawaban di kepalanya. Siapa yang pria itu panggil psikopat? Jika dirinya, mengapa begitu? Mona membunuh siapa? Dan banyak sekali. Bahkan, pertanyaan mengapa ia bisa berakhir di rumah sakit saja si empu tak mengetahui jawabannya.

Dan yang paling membuat kepala Mona terasa akan pecah adalah saat menyadari jika tangan kanannya terpasang borgol yang satu lubangnya dipasang ke besi sisi sandaran brankar.

Air mata sontak terjatuh dari pelupuk sembari memandang kosong plafon putih bersih. Selain memikirkan perihal nasibnya setelah ini, alasan Mona menangis tidak jauh karena tubuh yang terasa berat kala ia coba untuk bangun. Juga, di lehernya kini terpasang cervical collar yang tentu saja membuat pergerakan Mona jadi terbatas.

Sekarang, pertanyaan di kepala Mona bertambah satu. Separah itukah dia?

Tanpa terasa, awan-awan gelap gulita perlahan berganti menjadi si langit cerah. Decitan pintu menarik atensi Mona untuk melirik ke asal suara. Di sana seorang perawat datang dengan mendorong troli obat.

"Nona Mona Agnesta?" Ia bertanya untuk sekadar memastikan jika pasien yang akan diberikan obat tidak salah.

"Iya," sahut Mona. Suaranya hampir tak terdengar.

Beberapa bungkus obat dan sebuah suntikan perawat itu bawa menuju brankar.

Entah tengah diapakan tangan Mona, yang pasti si empu memejamkan mata kala cairan disuntikkan ke infus.

"Sudah. Dan ini ada tiga obat, semuanya sesudah makan."

Mona mengangguk kecil. Sebelum perawat itu pergi, si empu sempatkan meminta bantuan untuk menaikkan sandaran brankar.

Tak lama, pintu dibuka lagi. Kali ini perawat membawa baki berbahan stainless steel berisi sepiring bubur yang tampak higenis terbungkus plastik wrap.

"Mau dimakan sekarang atau nanti?" tanyanya.

"Nanti aja," jawab Mona, padahal perutnya sudah keroncongan sejak tadi.

"Saya taruh di sini, ya?"

Mona mengangguk kecil sebagai persetujuan. Sarapan perawat itu letakkan di atas lemari nakas di samping kiri brankar sebelum angkat kaki.

Namun, sepertinya Mona tidak diizinkan untuk tenang pagi ini. Pintu yang belum lama tertutup, lagi dan lagi mengeluarkan decitan kala sebuah tangan mendorongnya.

Kepala Mona terkesiap tertoleh. Kali ini bukan lagi seorang perawat, tapi pria berperawakan tinggi nan gagah berpakaian satu set jas biru tua. Pria itu melempar senyum kala mata keduanya beradu pandang.

"Selamat pagi, Mona," sapanya seolah mereka sudah akrab.

Tak ada sahutan dari Mona, yang si empu lakukan hanya memperhatikan pergerakan pria asing ini yang dengan santainya mengambil kursi untuk diduduki tepat di samping brankar.

In The RefrigeratorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang