11. Kesaksian Emil

87 13 0
                                    

Di ruang investigasi, Ari memutar arah laptop hingga layarnya menghadap ke lawan bicara yang duduk berhadapan dengan meja menjadi penengahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di ruang investigasi, Ari memutar arah laptop hingga layarnya menghadap ke lawan bicara yang duduk berhadapan dengan meja menjadi penengahnya.

"Pria yang bersama Kaina malam itu benar kamu?" tanya Ari.

"Iya, Pak. Itu benar saya," jawabnya tanpa ragu.

Laptop Ari putar lagi, lantas menjeda video rekaman CCTV untuk kembali fokus ke pertanyaan. "Lalu, ada urusan apa sampai mengharuskan kamu mengantar Kaina? Bukankah hubungan kalian sudah berakhir sejak dua bulan lalu?"

Pria sebagai lawan bicara Ari yang tak lain dan tak bukan adalah seorang Emil melotot kala mendengar pertanyaan tersebut. "Kok, dua bulan?" beonya tampak tak terima.

"Jadi itu salah?"

"Yang bilang kami putus dua bulan lalu siapa, Pak?" Alih-alih menjawab, Emil justru menyuarakan pertanyaan.

"Apakah itu penting?"

"Tentu aja penting. Saya perlu tahu karena itu salah besar," gerutu Emil sedikit menggebu-gebu. "Kami memang berpisah dua bulan lalu, tapi bukan mengakhiri hubungan. Kami cuma LDR karena saya ikut orangtua pulang kampung ke Jember saat Bapak saya dipindah tugaskan ke sana."

Ari mengangguk-anggukkan kepala mengerti. "Ya sudah kalau seperti itu. Yang saya tanyakan ada urusan apa kamu dengan Kaina malam itu? Lalu, mengapa hanya sampai di depan toko saja? Mengapa tidak mengantarkan Kaina sampai rumah?"

Tak langsung menjawab, Emil lebih dahulu membenarkan duduknya, menarik kursi agar tubuh sedikit lebih dekat dengan meja. "Boleh saya ceritakan semuanya, Pak?" pintanya.

"Tentu, sialan."



🔪🔪🔪



Emil turun dari taksi online usai membayar total ongkos. Pemuda yang baru saja menginjak usia sembilan belas tahun itu tampak buru-buru kala membuka pintu pagar besi di sebuah hunian minimalis lantai dua.

Gelap sudah seluruhnya menguasai langit. Pukul delapan lewat empat puluh lima menit, cakrawala Jakarta menjadi atap manusia itu.

Tok. Tok. Tok.

Pintu bercat putih ia ketuk beberapa kali. Tak ada sahutan atau sekadar tanda-tanda pintu akan dibuka dari dalam sana, memutuskan Emil untuk melakukan hal serupa sekali lagi.

Tok. Tok. Tok.

"Iya, iya, nanti!"

Tak lama setelah sahutan suara seorang laki-laki terdengar, pintu terbuka, menampilkan wajah tercengang saat tahu siapa tamu yang datang di malam hari.

"Lho, Emil. Kok, kamu ada di sini?" serunya yang masih belum meluruhkan muka terkejutnya.

Emil mengulas senyum, lantas menghampiri pria hampir menginjak kepala tiga untuk menyalimi tangannya. "Iya, Mas."

In The RefrigeratorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang