23-Say goodbye

36 2 0
                                    

Ingin menghilang ingin lenyap karena kehadiran ini sebatas pengalaman bukan teman hidup.
Haleluya ✝️🖤

"Capek banget ya, Tuhan!" Perempuan yang usia cuci piring itu kini telah mandi dan berganti pakaian memandang miris tugas Seni budaya.

"Capek banget ASTAGA. Pegel nih badan juga!" Kepala dia letakan diatas buku-buku kesal. Aku baru selesai masak berdiri depan pintu kamar dengan cemelek akan mengajak makan tapi belum kulakukan masih memperhatikan saja tindakan perempuan itu.

"Mau heran tapi tinggal sama kulkas ya, apa-apa harus sendiri. Punya suami berasa lajang!" Perempuan kepang dua itu mengangkat kepalanya mengerjakan tugas dengan muka kusut. Seharusnya segar karena habis mandi.

"Yok makan!"

"Gereja Katolik!" Kaget perempuan itu dan jatuh dari kursi karena ucapanku. Dia mengusap lutut yang beradu dilantai, menatapku kaget shock tanpa kata henti.

"Kenapa tidak ketup pintu. Kenapa tidak salam atau apa gitu. Demi Tuhan aku jantungan Bang, ngagetin aja. Astaga!" Dia menutup buku. Menatapku yang tak beraksi apa-apa menunggu dia hingga keluar dari kamar.

"Nanti pijitin kaki aku dong. Sakit nih. Ya plis Bang Johnatan?"

Aku diam saja. Menuju dapur diluan dan menyiapkan piring untuk makan. Memberikan benda itu berserta sendok padanya. Lalu melepas celemek yang kugantung dekat kulkas. Kembali duduk di bangku meja makan.

"Sakit banget. Serius. Keknya besok aku izin aja deh," gumannya tapi karena telinga ini peka jadi aku menangapi.

"Udah tahu lemah masih aja. Ngikut kegiatan begitu!" Ayam goreng itu tertuang di piringku.

"Ya, tapi apa salahnya aku ikut kegiatan!"

"Jadi beban aja tahu!"

Perempuan itu menatapku setelah dia doa makan begitu juga aku. "Kenapa dirumah sama disekolah bedah. Tadi siang peduli, care banget kenapa sekarang gini?"

Tak menjawab omogannya. Membuat kami makan dalam diam. Sendok beradu dengan dentingan suara kodok diluar yang bersuara menemani malam ini. Tak lama rintik-rintik hujan gerimis. Selanjutnya sen rumah mulai terdengar deras hujan mengguyur Jakarta malam ini.

Perempuan itu lebih dulu mengakiri makannya dan mencuci piring di wastafel kembali ke meja makan lagi. "Mau dibuatin teh tidak?" Setelah dia menguk segelas air.

"Emang bisa?"

"Iya bisa." Perempuan itu mengambil dua gelas dengan berisi gula dan teh gopek. "Manis atau tawar aja nih?"

"Terserah kamu!" Aku menyuci piring dan memperhatikan gerakan perempuan itu. Dia memandang keluar jendela dapur.

"Bukannya benci hujan. Tapi aku ngerasa selalu ditingalin sendiri kalau situasi seperti ini. Karena vibesnya selalu sepi dan sendiri! Mereka yang selalu bersungut-sungut punya banyak sodara tidak tahu rasanya. Ditinggal sendirian dengan kesepian." Aku meneguk air mineral sembari mendengarkan perempuan itu bercerita.
"Tapi semenjak ada Bang Johnatan. Aku tidak merasa sepi lagi. Aku merasa ada orang untuk aku dengan sikap dan karakter yang tak aman bagiku! Tapi bikin candu sebagai penyemangat." Mata kami bertemu, teh pun kembali dia hidangkan dimeja makan.

"Aku pernah membaca quote begini di Ig, ada orang yang hadir dalam hidup kita sebagai pengalaman jadi, jangan pernah mempersoalkan siapa pun yang hadir dalam hidupmu. Kalau kehadiran aku sebagai masalah aku hanya bisa minta maaf."

Teh aku seruput pelan-pelan uap yang mengepul kutiup-tiup santai, aroma harum menguar dengan nikmat.

"Eh udah jangan bacotan lagi. Minumnya dikamar aja sekalian buat tugas terus istirahat!" Aku bangkit diluan setelah aku memegan cangkir teh diluan menujuh kamar.

HALELUYA [END]✓ Telah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang