3-Natal 25 malam

103 12 6
                                    

Kira kira boleh tidak ya, Tuhan. Aku
berharap dia jadi masa depanku. Walau hanya dalam alam mimpiku saja.

Gabrilla Elisabet Lorenzo.

Hallelua ✝️🖤

Aku sekalian mengajak Lala pergi ke mall. Tinggal satu malam lagi. Setelah itu malam puncak natal. Benar-benar tidak sabar deh. Serius. Aku mengadeng tangan anak itu seperti takut dia hilang. Kami mencari baju natal dan beberapa hal keperluan natal seperti kue dan minuman tak banyak sih. Tapi lumayan. Kami memutuskan untuk makan dikafe yang ada didalam mall.
"Bang makasih ya udah ngajak aku." Mataku menatap perempuan itu. Dan menganguk hanya senyum titip terbit dibibir.

"Seneng banget deh serius. Ini tuh kaya mimpi aja deh. Bener-bener tidak nyangkah aja." Aku terus menyendokan suapan makanan sedangkan Lala mulai mengoceh.
Aku menukik alis kanan ketika anak itu menepuk jidatnya. "Why?"

"Ini udah mo jam delapan aku lupa ngabarin orang rumah soalnya pergi mendadak banget Bang."

"Hmmm." Lala. Melepas sendok dan garpu perempuan itu. Mengirimkan pesan diponsel dengan casing biru doraemon. Aku bertaruh perempuan itu suka sekali sama bonekah satu itu. Aku sebenarnya tahu dengar jawabanku yang singkat-singkat begini dia kesal sangat kesal. Tapi mo bagaimana lagi orang aku tidak suka ngoceh panjang lebar.

"Halo Joh, Halo La, kalian makan di sini." Kepala. Kami menoleh ke depan. Suara Lala yang menyambut aku hanya senyum. "Halo juga Tante, halo Om." Perempuan itu berdiri dan menyalin tangan Bunda Ara dan Ayah Ara. Mempersilangkan mereka duduk disebelah kami sedangkan Ara. Seakan akan kehadirannya tak kasat mata.

"Tante, sama Om udah mau pulang kok, La. Ara ngapain berdiri sini sayang duduk." Perempuan itu menganguk dengan senyuman paksa menatap Lala kesal pandangan kami bertemu bibir itu tertarik lebar dengan hebo. "Kita ketemu lagi Bang Joh." Kenapa aku selalu terjebak disituasi kaya gini. Aku merem sebentar berdoa dalam hati agar tiga orang ini cepat berlalu. Aku tak ingin ada masalah diantara dua cewek ini. Tempat umun begini astagah.

"Ara, kamu tuh dulu sahabatan sama Lala loh waktu SD? Sebelum pisah SMP di Belanda," ucap laki laki paruh baya yang duduk disampingku. Aku dan dua perempuan itu di buat melonggo.
"Yah serius?"

"Iya Ara serius. Oh iya ayo pulang. Lala jangan lupa natalan main kerumah?"

"Siap Om."

"Kita pamit ya. Ingat langsung pulang loh. Jangan keluyuran nanti dicari papamu."

Anak itu menganguk lagi sembari kepalanya diusap Bunda Ara. Wanita itu menarik tangan anaknya. Pandangan sengit dalam diam tak henti Ara lemparkan pada Lala yang sudah sadar apa belum. Ketika tiga orang itu pergi aku tak bisa tahan bibirku untuk bicara.

"Kamu dekat sama orang tua Ara Lala?"

"Deket banget Bang, emang kita udah itu sahabatan dari SD, yah sebelum pisah SMP. Ara mah begitu kalau apa yang jadi milik dia aku dapat ya dia bakal musuhan sama aku."

"Hmmm, trus kamu fine aja."

Lala meneguk  jus mangga dan melihatku sendu. "Udah biasa Bang kalau bukan karena cinta dan sayang udah aku ikhlasin dia buat Abang. But aku tuh udah suka sama Abang dari SMP kelas X. "

Aku menghela nafas lagi. Masih menatapnya menunggu apa yang diautrakan. "Sebenarnya aku tuh. Masih tidak nyangkah aja. Kaya ngerasa mimpi diajak makan dan jalan bareng Abang. Bang aku bukan pelampiasan karena Ara kan?" Mata Lala mendadak berkaca-kaca. Seperti merasa niatku ini hanya disktrasi sementara.

HALELUYA [END]✓ Telah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang