[ 18 ] Not Okay but It's Okay

55 2 0
                                    

Part 18 - Not Okay but It's Okay

****

Raditya Tubagus Ragendra. Baru mendengar namanya saja, orang-orang mungkin sudah bisa menebak bahwa laki-laki itu berasal dari lingkungan yang makmur dan sentosa. Dia bukan orang yang biasa-biasa saja, setidaknya itulah yang gue pahami setelah mendengar cerita mama beberapa kali tentang keluarga sahabatnya itu.

Katanya, keluarga Ragendra termasuk ke dalam jajaran keluarga yang memiliki penghasilan di atas rata-rata per seluruh Indonesia. Ibunya seorang sosialita elit yang aktif dalam organisasi kemanusiaan, sementara sang ayah merupakan direktur di perusahaan batubara yang cabangnya tersebar di beberapa daerah di Indonesia. 

Gue gak tau persis seberapa banyak kekayaan yang mereka simpan di bank karena mertua gue pun gak pernah pamer soal materi ke para tetangganya, kecuali mama sendiri yang lancang menanyakan hal tersebut. Dari yang gue liat, keluarga itu pun cukup tertutup dari dunia luar dan untungnya pekerjaan mama bukan reporter sehingga Ragendra's family tidak menjadi bintang tamu di acara Browniesnya TransTV karena banyaknya informasi yang berhasil mama dapatkan.

Dulu ada satu cerita yang masih bikin gue insecure dan ngerasa rakyat jelata banget, bahkan sampai sekarang. Gen Raditya sendiri. Buyutnya seorang cendekia wanita dari negeri ginseng, yang kemudian menikah dengan pebisnis tersohor di negeri ini. Jadi gak heran kalau laki-laki kampret itu bukan cuma muka doang yang ganteng, tapi otaknya juga ikutan good looking. Apalah gue yang sebangsa kentang busuk ini. 

Mengesampingkan latar belakang pernikahan gue dan kak Radit yang penuh derai air mata, nyatanya gue cukup berterima kasih kepada Tuhan. Sebagai pecinta cowok tampan dengan kecerdasan otak kiri yang mumpuni, gue secara gak langsung diberi kesempatan untuk memperbaiki keturunan. Bila beruntung, keenceran otaknya bisa diwariskan ke anak gue nantinya. Gak pake 'anak kami' soalnya agak serem sendiri ngebayanginnya.

Tapi,

Ada tapinya.

Nyatanya kak Radit gak sesempurna itu. Mungkin pertanyaan hitung-hitungan dia sudah khatam, tapi membicarakan soal perasaan nol besar. Pertanyaan gue sebelumnya bahkan sampai detik ini pun belum mendapat respon apa-apa. Dia membiarkan keheningan di antara kami mendominasi. Ibarat gue adalah teh panas, maka sekarang sudah menjadi teh dingin saking lamanya didiamkan.

"I feel so wrong about that." Kak Radit akhirnya bersua dengan nada pelan, seolah menyiratkan rasa bersalah yang mendalam? Kemudian kedua tangannya menyentuh permukaan cangkir transparan di depannya sembari menerawang teh yang tersisa seperempatnya saja. Dia seakan menyimpan sesuatu di tenggorokannya, namun kalimat itu sulit diucapkan melalui bibirnya.

Melihat itu, gue mulai terpancing dan ingin tahu sesuatu. "Kenapa? Belum ada nyali putus dari Gianna?" tanya gue yang gak sadar nyebut nama pacarnya dan buat kak Radit natap gue.

Ada alasan kenapa di saat menginjak remaja, gue malah musuhan dengan sosok yang dulunya sangat gue kagumi dan puja-puja ini. Mengubur perasaan gue rapat-rapat dan selalu melihat sesuatu yang ada di dirinya dari sisi terjelek dan terburuk. Bahkan seringkali mendoktrin diri bahwa Radit itu tengil, gak ada akhlak, jahil, menyebalkan, dan sebagainya hanya untuk menutupi cinta gue yang ... bertepuk sebelah tangan.

Lalu seiring berjalannya waktu, gue mulai bertumbuh dengan luka-luka yang coba gue tambal dengan sikap denial terhadap tetangga gue itu. Selalu mengaku ke mama dan tante Laras kalau gue gak suka kak Radit, padahal gue cuma takut ditolak dan berujung patah hati.

Namun sikap dan perkataan kak Radit beberapa hari ini membuat gue goyah. Tembok yang coba gue bangun setinggi cakrawala itu, nyatanya runtuh dalam sekejap. Dan semesta pun menyadarkan gue bahwa sekeras apa pun gue ingin menghilangkan perasaan ini, pada akhirnya sedikit pupuk dari tangan orang yang gue suka mampu menumbuhkannya dengan subur.

Suddenly Become Your Wife || Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang