29. bonding

1.4K 149 26
                                    

Kenzie sedang berada di kamarnya. Nyaman rasanya dengan posisi berbaringnya kini setelah mengunci pintu.

Menyumpal kedua telinganya dengan earphone sembari mendengarkan musik dengan volume kencang . Sengaja agar tidak mendengar rengekan Khanza atau suara ibunya yang memohon padanya untuk memenuhi keinginan si adik.

Adiknya itu terlalu banyak maunya. Permintaannya untuk berfoto yang kemarin saja belum Kenzie kabulkan, eh.. sekarang malah minta Kenzie temani ke rumah sakit. Anak itu bahkan mengancam tidak akan melakukan perawatan wajibnya jika Kenzie tidak mau menemaninya.

Tentu saja hal itu membuat Riana kalang kabut dan berujung membujuk Kenzie seharian ini. Sedangkan Khanza justru terlihat santai saja seperti menyepelekan penyakitnya.

"Aish..." Kesalnya. Ia meninju kasur di sisi kanan dan kirinya. Tiap kali dia memejamkan matanya, wajah pucat Khanza lah yang nampak.

Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran adiknya itu. Bagaimana bisa dia menyepelekan penyakitnya. Jelas-jelas badannya sudah lemas begitu tapi masih menolak di ajak ke rumah sakit dari tadi siang.

Ayolah. Semua langsung tahu hanya dengan melihat wajahnya saja sudah kelihatan anak itu butuh transfusi darah secepatnya, tapi Khanza tetap keras kepala. Membuat Kenzie dilema saja.

Kenzie sih sebenarnya kasihan melihat adiknya, meski ia terus menolak, tapi adiknya itu tak pantang menyerah. Lihat saja sebentar lagi juga anak itu pasti akan mengetuk pintu kamarnya seperti yang sudah-sudah. Dari Sepulang Kenzie sekolah, anak itu terus saja menerornya.

Lima menit. Sepuluh menit. Nyatanya sampai satu jam kemudian tidak ibunya maupun Khanza, tak seorangpun mengetuk pintu kamarnya.

Karena penasaran, Kenzie melepaskan earphone dari telinganya. Mencoba menangkap suara apapun dari luar kamarnya, namun nihil.

"Udah. Gitu doang? Gampang amat nyerahnya." Ucapnya pada diri sendiri. Meremehkan kesungguhan adik dan ibunya yang mencoba membujuk dirinya.

"Kirain serius. Taunya.. ck.. aduh nji.. stop mengharap nji. Apa sih yang lo harapin dari keluarga bahagia itu? Lo itu bukan siapa-siapa buat mereka. inget. Ngarep boleh, bego jangan." Peringatnya pada diri sendiri.
.
.
.
"Gimana ri?" Tanya Zayn dengan napas ngos-ngosan. Maklum saja, ia berlari dari garasi ke kamar Khanza yang berada di lantai dua.

Riana menjawab dengan gelengan. Air matanya sudah cukup memberi tahu Zayn seburuk apa kondisi Khanza saat ini.

Anak itu sudah berada di ujung kemampuannya menahan sakit. Ia butuh transfusi darah saat ini juga, tapi anak itu tetap kekeuh hanya akan ke rumah sakit dengan kakaknya saja yang hingga kini terus menolak keinginannya.

Riana menahan tangan Zayn yang hendak beranjak dari kamar Khanza. Nampak gurat amarah di antara raut khawatirnya.

"Aku mesti ngomong sama Kenzie.." jelasnya.

"Aku ikut."

"Nggak usah. Kamu di sini aja. Jaga Khanza." Tolaknya. Ia singkirkan tangannya dari pegangan Riana kemudian di lingkisnya lengan kemeja itu hingga batas sikunya.
.
.
.
Kenzie tersentak oleh suara pintu yang di buka dengan kasar. Menimbulkan bunyi antara pintu dengan tembok yang lumayan keras.

"Apa sih.!!" Protesnya sambil mengelus dada.

"Papa yang tanya mau kamu apa." Sanggahnya dengan tatapan tajam.

Sehari Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang