Kenzie diam tanpa bereaksi Seolah hanya raganya saja yang berada di kamar ini. Kembali sang ibu berlutut di hadapannya, menangis dalam pangkuan anaknya yang duduk mematung di tepi ranjang sambil sedikit meremas tubuh itu dengan tangan yang ia lingkarkan melewati pinggul Kenzie.
Sedang di kamar sebelah, Khanza sedang bersiap. Anak itu terlalu bersemangat tanpa tahu sikapnya itu membuat ayah dan ibunya semakin hancur.
Bagaimana tidak. Setelah semalam dokter menyatakan kondisinya semakin memburuk, pagi-pagi sekali ia sudah menyuruh seluruh keluarganya berkumpul dan bersikap seolah ia baik-baik saja.
Ia juga meminta hari ini juga melaksanakan foto keluarga. Meski di bujuk ribuan kali untuk menunda hingga kondisinya membaik, anak itu justru mengatakan alasannya yang membuat hati Riana hancur hingga tak berbentuk.
"Nja pengen lihat foto keluarga kita sebelum nja pergi. Kalo nunggu lagi, nja takut nggak sempet." Khanza tersenyum getir di ujung kalimatnya
Hati ibu mana yang sanggup mendengar fakta bahwa anak yang ia jaga selama ini mengatakan seolah ia sudah bersiap pergi untuk selamanya.
Meski ia sudah menemani Khanza dalam menjalani semua kesakitan ini, namun nyatanya ia masih belum siap menerima kenyataan bahwa penyakit itu bisa merenggut Khanza dari pelukannya kapan saja.
Tentu Kenzie menolak permintaan konyol Khanza. Bukan hatinya sekeras itu, nyatanya Kenzie sudah berharap adiknya masih bisa bertahan untuk waktu yang lama.
Kenzie hanya benci semua bentuk perpisahan. Ia tak ingin lagi merasakan kesepian setelah perpisahan itu terjadi. Baru saja ia berniat membuka sedikit pintu hatinya untuk Khanza, eh adiknya itu yang justru hendak menyerah. Padahal jelas-jelas dia yang berhasil membuat Kenzie melawan keyakinannya selama ini untuk tidak kembali berharap pada siapapun.
Hanya Riana yang menangis tersedu-sedu melihat kedua anaknya saling bertahan dengan pendapat mereka. Sedang Zayn hanya diam. Mencoba menjernihkan pikiran karena ia tahu kedua anaknya sama kerasnya.
Khanza hanya tidak ingin membuang waktu yang bisa saja sekarang menjadi kesempatan terakhirnya, mengingat penyakit itu terus mengoyak pertahanannya.
Sedang Kenzie. Zayn tahu anak itu belum siap berpisah dari sang adik, sehingga menyangkal semua keinginan sang adik yang mengisyaratkan akan adanya perpisahan.
Dan ketika semua perasaan yang membuat Kenzie tak nyaman itu mulai menguasai emosinya, ia berlari keluar. Mengurung diri di kamar sebelah.
Di tengah kesendiriannya Kenzie kembali melihat jalan bercabang itu. Meski keyakinannya masih bimbang, namun nampak satu jalan yang terbuka lebar, seperti menariknya untuk melewati jalan yang lapang.
Suara ketukan pintu menyadarkannya sebelum ia benar-benar larut dalam pemikirannya. Meski ragu dengan keputusan yang ia ambil, nyatanya ia mulai melangkahkan kakinya untuk menapaki salah satu jalan bercabang itu dengan penuh kerelaan.
Kenzie tahu betul maksud si ibu menyusulnya ke ruangan ini. Apalagi kalau bukan lagi-lagi untuk membujuknya menuruti kemauan si adik.
Begitu mendekat, si ibu langsung meraih tangan Kenzie dan menyimpannya dalam genggaman. Tak ada satu kata pun yang terucap. Keduanya terlalu sibuk menyelami perasaan masing-masing.
"Kenzie.."
"Udah deh. Kalo mama mau paksa nji, nji nggak mau." Potongnya
"Kenzie.. mama mohon.." Riana mengencangkan genggaman tangannya.
"Kali ini aja nak.. kamu ngertiin adek kamu." Lanjutnya.
"Dari dulu juga selalu begitu. Selalu demi nja. Sampai kayaknya nji nggak layak bahagia sebelum nja bahagia dulu. Kenapa sih ma? Nji juga anak mama kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehari Untuk Selamanya
General Fiction"pokoknya nji mau nya mama yang suapin" _kenzie "Kamu apa-apaan sih Kenzie? Udah gede gitu emang nggak malu?" _Riana "Tapi mama kan udah janji seharian bakal turutin permintaan nji?" _kenzie "Iya tapi hari ini kamu tuh aneh. Manja banget. Mama juga...