32. been through

2K 176 48
                                    

Jam waker berbentuk anak ayam membangunkan Kenzie tepat pukul enam seperti hari-hari biasanya, yang membedakan hanya hatinya yang semakin remuk redam. Tak dapat lagi menahan semua serangan demi serangan yang di hujamkan ayah dan ibunya.

Mungkin ini batas kemampuan Kenzie menahan semua kesakitan. Setelah dengan terang-terangan orang tuanya memperlakukan seolah dia bukanlah pilihan, lantas untuk apa lagi Kenzie bertahan.

Tak ada lagi sisa rasa di hatinya untuk ayah dan ibunya. Biarlah ia menjadi anak tak tahu diri yang lebih memilih pergi daripada harus bertahan dengan mengorbankan hati dan perasaannya, bahkan kewarasannya serasa hilang bersama dengan harapannya yang memudar.

Sampai kemarin Kenzie masih yakin orang tuanya akan berbalik kepadanya, mengucapkan terimakasih karena sudah mau bersabar dan memberi kesempatan kesekian kalinya. Namun tidak kali ini.

Ia bertekad untuk pergi, hidup mandiri. Jauh dari keluarganya. Bila kedua orang tuanya saja bisa menyakiti hatinya, maka ia juga bisa menghilang dari jangkauan mereka.

Mungkin sekarang saat yang tepat baginya pergi dari rumah ini. Rumah yang  menurut Kenzie  hanyalah sebuah bangunan saja, karena rumah sejatinya mampu memberi rasa nyaman dan aman. Bukan rasa khawatir dan takut yang selalu ia rasakan.

Selagi orang tuanya fokus dengan Khanza, maka akan memudahkan rencananya kabur. Tidak, bukan kabur tapi pergi dan menghilang.

Ia pandangi langit-langit kamarnya. Tanpa terasa air matanya kembali menetes dari sudut matanya. Ia kepalkan kedua tangannya, membuat rembesan darah keluar di perban yang melilit telapak hingga punggung tangannya.

Ia hampir lupa mendapatkan luka itu kemarin. Bahkan luka basah di telapak tangannya tidak lebih sakit dari luka batin yang ia rasakan.

Tubuhnya terasa lelah. Padahal seharian kerjaannya hanya tidur. Tak makan. Tak minum. Bahkan ia terlalu malas hanya untuk beranjak dari tempat tidur. Air matanya terus mengalir tanpa perintah.

Yang ada di pikirannya kali ini hanya pergi. Entah menjauh atau sekedar menghindari kehidupannya yang terasa memuakkan.

Semuanya nampak hampa. Bahkan kehadirannya yang seolah tak berkesan untuk semua orang, membuat dadanya sesak seakan tenggelam di lautan dalam. Semakin ia berusaha terlepas dari mimpi itu, semakin menenggelamkan dirinya di lautan gelap tanpa dasar.
.
.
.
.
.
Suasana rumah yang sepi membuat Kenzie dapat mendengar suara sekecil apapun. Sepertinya seseorang membuka pintu utama. Suara langkahnya menuju lantai dua tempat kamarnya berada, hingga tak berapa lama seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Kenzie tak merespon. Membiarkan sosok sang ibu masuk. Terlalu malas untuk sekedar menyapa.

"Kenzie.." panggil si ibu begitu mendekat.

Kenzie masih tak bereaksi. Sepertinya langit-langit kamarnya lebih menarik daripada wajah sang ibu. Ia berkedip sesekali, namun pandangannya kosong.

Riana yang mendengar Kenzie demam dari Zayn menganggap ini hal biasa. Tanpa tahu anaknya sedang butuh pertolongan. Mungkin dari luar Kenzie nampak baik-baik saja, tapi di dalam tubuh sehat Kenzie terdapat jiwa yang meronta ingin di selamatkan.

Di lepasnya plester demam di dahi Kenzie, kemudian menggantinya dengan yang baru setelah Riana rasa suhu Kenzie masih sedikit tinggi.

Riana heran melihat kondisi Kenzie saat ini. Apakah Kenzie memang sekurus ini sebelumnya? Rasanya baru kemarin ia tak melihat putranya. Tapi kenapa seperti banyak perubahan di diri Kenzie? Atau memang dirinya lah yang tidak memperhatikan Kenzie hingga saat sedekat ini pun ia merasa asing.

Sehari Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang