***
🌵
Mulut kecil Danny menganga, mata sipitnya mengerjab takjub, melihat berbagai macam alat untuk menggambar disain rumah manual tertata rapi di dalam kamarnya. Mulai dari pensil mekanik hingga jangka, semuanya ada.
Tadi malam, Vinn sengaja menahan Peter beberapa menit untuk menanyakan hasil dari bincang-bincang singkatnya dengan Danny. Peter bilang, Danny tidak setuju jika Vinn harus pensiun dini hanya karena ingin merawatnya, itu karena hidup Vinn masih sangat panjang, dia yakin abangnya masih butuh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Selain itu menurut Danny, bekerja diperusahaan adalah pilihan yang Vinn sukai. Danny tidak ingin abangnya melepas apa yang disukainya hanya untuk menemaninya bermain.
Peter juga bilang, Danny merasa sedih karena kedua abangnya tidak ada yang mau diajak jalan-jalan melihat-lihat isi rumah. Padahal setelah kepergian kedua abangnya ini, Danny sudah banyak merombak bangunan rumah ini sesuai dengan imajinasinya.
"Ini buat Danny semua bang?" Tanya Danny antusias. Mulutnya menguap lebar, tangan kanannya terangkat ingin mengusap matanya yang buram.
"Cuci muka dulu!" Perintah Vinn sambil menghentikan pergerakan tangan Danny yang semakin gencar mengusak kedua matanya. "Atau mau mandi sekalian? Abang siapin airnya."
Danny tersenyum, dia rentangkan kedua tangannya lebar. Berharap abangnya segera memberinya pelukan. "Mau mandi aja. Danny udah nggak sabar mau nyobain mainan baru Danny." Pekik Danny girang.
Vinn melepas pelukan singkatnya. Segera dia beranjak ke kamar mandi lalu mengisi bath tub dengan air hangat. Handuk bersih juga sudah Vinn siapkan di atas rak.
Anak laki-laki berusia 17 tahun itu segera melepas bajunya, dia tidak lagi perduli dengan keberadaan kakaknya di sana. Danny ingin segera mandi, lalu menjajal hadiah yang abangnya berikan untuknya.
"15 menit, tidak boleh lebih!" Peringat Vinn yang langsung diangguki Danny. Dia bahkan akan mandi lebih cepat dari itu.
"Jangan lari-lari, kaki kamu basah! Kamu bisa terpeleset!" Hardik Vinn begitu Danny berlarian menuju walk in closet dengan handuk di pinggangnya.
"Tck.. iya.. iya.. ini masih pagi loh! Nggak usah marah-marah!" Gerutu Danny.
Setelah mengenakan baju santainya, Danny segera menuju ke tempat di mana peralatan menggambarnya berada. Dengan antusias dia pegang satu per satu peralatan impiannya itu. Mulutnya tak sedetikpun mengatup, Danny benar-benar takjub.
"Danny suka hadiah dari abang?"
Danny mengangguk. "Kok abang bisa tau Danny pengen banget punya alat-alat ini?"
"Peter bilang sama abang." Danny seketika langsung meletakkan pensil mekaniknya. Tidak benar jika apa yang Danny ceritakan kepada Peter semudah itu diceritakan ulang kepada orang lain. Meski orang lain itu adalah abangnya sendiri. "Nggak usah cemberut! Kamu harusnya berterima kasih sama Peter karena dia, abang jadi tau apa yang kamu mau."
Vinn meletakkan ponselnya. Dia tarik Danny supaya anak itu duduk di atas ranjang, tepat di sampingnya. "Lagian kenapa kamu nggak bilang sama abang kalau kamu mau ini semua? Kamu belum percaya sama abang?" Tanya Vinn halus.
"Bukan gitu," Jawab Danny sedikit menyesal. Dia pilin ujung kaosnya hingga kusut. "Danny sebenernya pengen nunjukin hasil karya Danny sama abang, bangunan rumah yang udah Danny disain ulang, tapi kan abang selalu nolak. Danny jadi nggak enak mau cerita ke abang mengenai apa yang Danny suka."
"Maafin abang, suatu hari nanti abang pasti mau kok kamu ajak keliling. Kasih abang waktu okey." Danny mengangguk. Dia ingin bertanya, apa alasan kedua abangnya itu terus menerus menolak ajakannya. Padahal kemampuan acting merajuknya sudah sangat meningkat, tapi tetap saja hal itu tak membuat kedua abangnya mau menuruti keinginannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
O - THE BEGINNING [Complete]
FanfictionSetelah 7 tahun tinggal sendirian tanpa keluarga, tiba-tiba Danny harus tinggal bersama kedua abangnya. Insiden tak terduga yang terjadi saat Danny dan kedua sahabatnya tersesat di hutan menjadil awal dari perubahan hidupnya. Siapakah yang telah men...