Kata Elan (1)

103 10 0
                                    

Langit di atas kepalaku ini pucat sekali, kenapa? Ujar Elan menerawang jendela kaca mobilnya. Salah. Maksudku langit di atas atap mobilku - berhubung aku di dalam mobil - kenapa pucat, ralatnya kemudian.

Langit tidak mungkin pucat, karena langit kan tidak punya muka, itu kata sahabat Elan yang tak suka buku novel. Kata kiasan sudah pasti ibarat nonsense menyesatkan buat sang teman dekat.

Satu lagi, jangan berbelit-belit, nanti kamu jadi miskin. Pasalnya berbelit-belit buang-buang waktu saja, dan waktu adalah uang. Itu nasihat remeh sahabatnya Elan, kala Elan menyatakan ingin jadi novelis atau penulis naskah film pendek.

Maaf ya, katanya, kebanyakan novel itu gaya bahasanya persis teka-teki silang dan akhirnya cuma bikin pusing tujuh keliling. Tujuh menurun dan tujuh mendatar itu bedanya apa, ya? Jujur, humor temannya Elan cukup lumayan menyengat, atau mungkin tidak cukup lucu buat selera orang awam.

Katanya lagi langit punya warna, dan warna memang bisa saja pucat. "Katakan warna langit terlihat pucat, itu lebih tepat, Lan." Ucap sahabat Elan dengan menekankan kata "terlihat", yang artinya kelihatannya seperti itu, kesannya begitu. Ingat, langit itu tinggi di atas sana. Warna langit yang kelihatan dari bumi belum tentu warna langit yang sesungguhnya, karena atmosfer bumi ibarat komidi tipuan cahaya yang luar biasa mengecoh mata.

Halo dan fatamorgana adalah contoh gampang gejala optik yang menipu mata awam. Sehari-harinya pun, kita sudah tertipu oleh awan. Kelihatannya segumpal awan mirip serat kapas di kanvas biru, ya kan? Pada intinya, awan ternyata adalah kumpulan partikel air berupa tetes air atau kristal es yang nampak di atmosfer. Herannya, awan tidak terlihat mirip air di mata manusia, kita memandangnya seperti kapas dalam jumlah gumpalan yang banyak dan aneka rupanya.

Namun, awan-awan tidak kelihatan di hamparan langit yang dipandangi Elan. Betul-betul tidak ada awan satu pun hari ini. Langit memang pucat. Oke, warnanya langit yang pucat, bukan langitnya yang pucat. Hanya saja, tidak biasanya, bahkan saat Bandung mendung sekalipun, langit bisa pucat pasi seperti ini. Bukan abu-abu pertanda akan hujan, bukan langit gelap isyarat tibanya badai topan. Ini sungguh-sungguh langit yang transparan, seakan seperti bayang-bayangan yang bakal minggat tanpa memberikan pertanda aba-aba. Elan pun mulai dirayapi panik.

Sudah dua jam ia memandangi langit pucat, dan sama sekali minim pergerakan di sekitarnya. Lalu lintas membuatnya terjebak macet. Sangat parah karena tanpa sebab semua mobil-mobil di sekitarnya terhambat, seakan menanti untuk waktu yang tak ditentukan akan berakhir kapan. Seakan penantian mereka akan berlangsung selamanya.

Elan tidak merokok, untungnya. Cuaca pagi ini dingin sekali, lagi-lagi tidak biasanya. Napasnya seperti penuh asap, seumur-umur baru dirasakannya di negeri tropis dan kota kembang yang ditinggalinya. Bila ia merokok, bukankah asapnya makin banyak dan mengganggu pandangan matanya? Elan berpikir dengan polos. Sekarang pun, asap kabut dari pernapasannya mulai mengganggu. Setidak-tidaknya matanya berkabut sedikit, perasaan tubuhnya melayang-layang seolah ia sendiri tidak nyata berada dalam mobil rongsoknya, berkendara di tengah macetnya kota, menuju tempat kerja membosankan yang akan menjadikannya tahanan meja hingga petang hari bersulih kegelapan.

Jari-jarinya akhirnya letih juga. Mengetuk-ngetuk di atas kemudi mobil, irama jantungnya berdetak senada. Bosan. Seluruh hidupnya penuh kebosanan. Hari ini lebih istimewa, tak ada yang lebih membosankan selain menunggu dan tak menentu. Entah apa yang ditunggunya dan apa faedahnya menunggu di sini? Ponselnya mati, itu bencana yang paling besar, karena ia tak bisa menghubungi kantornya untuk minta pamit bercuti.

Kapan terakhir kalinya ia cuti? Elan menghitung jari jemarinya, tak ingat apa pun karena sepertinya cuti terakhirnya diambil empat tahun sebelumnya. Ia jatuh dari tangga kala itu. Seluruh tubuhnya remuk redam, meski kata dokter ia baik-baik saja kecuali memar-memar dan terkilir di tangan kanan. Yang jelas ia tidak bisa bekerja selama empat hari penuh dan memaksakan masuk di hari kelima menahan nyeri-nyeri agar bosnya tidak sampai hati untuk mem-PHK-nya.

Love Like You DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang