Nuka dan Elan (3)

17 6 0
                                    

Kereta api di stasiun ini pasti jauh meninggalkan Bandung. Peronnya saja sudah terasa di luar Bandung, bahkan kesannya bukan masa 2025 saat Nuka berusia 27 tahun, artinya tahun ini. Mungkin bakal stasiun masa depan desainnya persis seperti ini, pikir Nuka kagum. Bukan cuma serba putih, stasiun yang tak berpenghuni siapa pun - kecuali Nuka - serba mengilat juga, seperti disepuh kilau keperak-perakan, dan garis desainnya melampaui nalar manusia umumnya. Arsitek kelas dewa yang selera artistiknya menggegerkan, mungkin seperti ini jadinya bila Affandi yang ekspresionis mempelajari arsitektur dan merancang bangun suatu bangunan kolosal.

Bahan bangunan stasiun mungkin didatangkan dari luar negeri. Nuka yang terbiasa pada bangunan kumuh oleh karena gen kemiskinan di tubuhnya, mengelilingi peron dengan muka tertunduk. Lantai yang dipijaknya cukup mengerikan, seperti karpet tebal empuk, yang bila dipijak meninggalkan cetakan tapak kaki, atau mirip pasir putih pantai yang dipampatkan. Namun, lantai empuk ini teras solid pada saat bersamaan. Bekas jejak kakinya cepat menghilang di belakang setelah ia melangkah maju satu dua langkah. Ingatannya justru menembus mundur dua puluh tahun berselang.

Nuka tujuh tahun kala itu memijak beton retak-retak. Atap seng di atas peron kereta juga sedikit rengkah. Seandainya hujan deras, pasti ia dan ayahnya yang berdempetan dengan calon penumpang lainnya akan basah kuyup terimbas hujan. Untungnya kali itu langit cuma mendung dan tetesannya terasa ringan mengetuk seng keabu-abuan. Kebetulan langit juga senada atap seng, warnanya kelabu putih tua.

Sayangnya ia tidak ingat nama stasiun yang mengantarnya pindah ke Bandung. Yang pasti, stasiun agak kumuh itu adalah sepotong Jakarta yang ditinggalkannya. Lucunya ia merasa menaiki bus meskipun ia yakin kendaraannya panjang dan sangat berisik. Itu mungkin kereta api, boleh jadi bus yang amat panjang badannya dan riuh rendah oleh penjaja dagangan yang menyamar sebagai penumpang biasa. Nuka kurang ingat karena ia tertidur dalam pelukan ayahnya di atas onggokan perutnya, dan itu satu-satunya saat ia merasa nyaman bersama sang bapak.

Bapaknya menyantap pisang goreng yang tengik baunya, barangkali minyak jelantah penggorengnya sudah terpakai lima puluh lima kali, dan Nuka kecil memimpikannya sebagai aroma garing ayam tepung nan menggiurkan. Perut empuk bapaknya yang berlapis lemak membuat tidurnya makin dalam. Bantal berbulu angsa palsu yang ditidurinya di losmen Bu Min kemarin malam muncul dalam khayalannya.

Seingatnya, Bu Min selalu baik pada Nuka dan bapaknya. Entah adakah pamrih di antara mereka, maksudnya antara Bu Min dan ayahnya Nuka. Di saat ayahnya morat-marit diuber para rentenir, Bu Min sigap mengulurkan tangan. Menyembunyikan mereka di salah satu kamar losmennya dan membantu membelikan karcis ke kota Bandung. Selama bertetangga - tidak terlalu dekat jaraknya, terpisahkan sekian gang dan sejumlah belokan - Bu Min kerap mengenyangkan Nuka dengan masakan dan kue-kuenya. Sayang, Bu Min alergi dengan telur, sementara Nuka tergila-gila memakan telur ayam.

Bandung tanpa Bu Min ibarat abu-abu langit berkabut sore hari dua puluh tahun lalu. Hari ini pun, Nuka yang 27 tahun lupa mengamati langit pagi, apakah mendung di hatinya masih tercermin pada langit Bandung seperti ketika ia pertama kali memandangnya?

Peron Tujuh - yang agaknya merupakan nama peron dan bukan penomorannya - tidak berlangit sama sekali. Peron ini terbungkus rapat oleh atap, seakan mirip stasiun kereta cepat bawah tanah yang dikenal sebagai MRT di Jakarta. Seperti lantainya, atap peron putih mengilau juga dan kesannya seperti berembun dari pori-porinya. Seumpama salju es yang akan meleleh, mungkin?

Seharusnya pengamatannya tidak seteliti ini, karena Nuka minus ringan dan tidak mau berkacamata, tetapi detail stasiun dan peron sudah mengendap di kepalanya, seolah ia pernah diberitahu atau membaca perihal stasiun dengan Peron Tujuh yang besar kemungkinan satu-satunya peron yang beroperasi di dalam stasiun.

Nuka tidak kedinginan dan sedikit mati rasa. Ya, ini memang hari yang aneh dan sewajarnya ia mencubiti diri sendiri, menguji apakah ia bermimpi atau bukan. Namun, pikirannya teralihkan oleh bayangan seseorang yang menyendiri agak di kejauhan, juga berdiri posisinya karena peron ini tidak menyediakan bangku seperti halnya ruang tunggu stasiun abu-abu.

Love Like You DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang