Memasuki akhir September dan mendekat pada oktober sudah merupakan musim hujan. Seperti sore ini, padahal baru jam empat sore, tapi awan sudah terlihat menggelap dan siap memuntahkan beban yang ditanggungnya.
Terlihat seorang gadis cantik baru saja keluar dari toko alat tulis lengkap dengan satu tas belanjaan yang berisi dua rim kertas hvs. Gadis itu mendongak dan merasakan titik-titik air hujan mulai turun. “Untung gue bawa payung.”
Zuney merogoh payung lipat yang selalu ada di dalam tasnya, dan segera membukanya. Berjalan kaki di pinggir kota, apalagi sausana hujan memang sudah sangat Zuney lakukan. Jadi, sesekali Zuney ingin melakukannya.
Zuney melewati halte bus, dan di sana terlihat banyak pegawai kantoran yang sedang menunggu bus. Mata Zuney menangkap seorang lelaki bertubuh jangkung dengan jas hitam yang sudah terlepas semua kancingnya. Memperlihatkan kemeja putih yang juga sudah tidak rapi. Lelaki itu juga melihat ke arah Zuney.
Zuney tersenyum, lalu melambai tangan. “Jendra!”
Yap, lelaki itu adalah Jendra. Jendra mendekat. “Ney, lo abis dari mana?” Jendra melihat ke isi belanjaan Zuney. “Lo beli kertas banyak amat? Sini biar gue yang bawa.” Jendra segera mengambil alih tas belanjaan Zuney.
Zuney merentang-rentangkan tangan kirinya yang semula membawa kertas sebanyak tiga rim itu. “Duh, dari tadi kek, Jen.”
Jendra terkekeh. “Harusnya lo telepon, pasti gue samperin, Ney.”
“Pulang jalan kaki, yuk?” ajak Zuney, “pakai payung gue aja. Mau, ya?”
Jendra langsung mengangguk. “Lets go!”
Akhirnya mereka kembali berjalan. Posisinya Zuney memegang payung, sementara Jendra menenteng tas belanjaan Zuney. Mereka berada di bawah naungan payung yang sama. Dengan jarak sedekat ini, harusnya Zuney bisa mendengar debaran jantung Jendra, tapi ya gak mungkin juga sih, hehehe.
Meski sudah berkali-kali mendapat sepik-sepik kode dari Zuney, Jendra belum berani untuk menetapkan bahwa semua yang sudah Zuney katakana adalah fakta. Jendra hanya tidak ingin kecewa, karena Jendra tahu bahwa gadis cantik yang ada di sampingnya ini cenderung suka bercanda.
“Supervisi lo udah beres, Ney?” tanya Jendra.
“Belum, lah, nanti tanggal sepuluh. Gue tuh udah nyiapin semua, deh, perasaan, tapi kenapa masih banyak aja ya yang harus gue print? Aneh, gak, sih?” Zuney cemberut. “Kayak… gak selesai-selesai, gitu.”
Jendra tersenyum gemas melihat Zuney yang sedang mendumel. “Ayo marah-marah lagi, Ney.”
Zuney mengerutkan kening, lalu tertawa. “Aduh, gue lupa lagi ngobrol sama orang paling sabar di dunia ini.”
“He? Kok?” Jendra semakin tertawa mengingat predikat sabar yang teman-temannya berikan.
“Dulu, tuh, ya, kalau gue marah-marah di depan Juna, lah Juna malah ikut marah. Tapi marah-marahnya Juna itu bikin emosi gue ilang. Dia lucu banget kalau lagi marah-marah.” Zuney semakin tertawa ketika bercerita tentang Arjuna.
Jendra tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kangen, ya, Ney, sama Juna?”
“Dikit, sih.” Zuney tersenyum.
Jendra bisa melihat senyum kerinduan Zuney. “Lo tau gak, Ney? Juna tuh pernah cerita ke gue, kalau yang paling dia sukai dari lo tuh ya senyum lo itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
(MELINGKAR) VOL. 2
FanfictionSEQUEL DARI CERITA SEBELUMNYA, YAITU MEL(INGKAR) Jadi, kalian baca dulu Mel(ingkar) ya ❤ Sulit dimengerti, ketika seseorang yang nyatanya telah pergi, namun kehadirannya masih sungguh terasa. Bagaimana caranya berbicara saja masih teringat jelas...