Keping 29 - Bro

79 11 1
                                    

Malam ini, di rumah Charlo, semua anggota laki-laki berkumpul. Mereka sepakat untuk tidak memberi tahu teman perempuan, sebetulnya, saat ini secara khusus Charlo mengundang mereka semua.

            “Kirain mau pesta lajang,” celetuk Ardana seraya memakan kacang kulit.

            Charlo duduk setelah menaruh dua botol besar minuman soda di tengah karpet. “Pusing lah gue, makin deket ke pernikahan malah makin banyak drama.”

            Jendra yang baru saja melepas jaketnya itu melihat ke arah wajah Charlo yang sangat kusut itu. “Kenapa, deh, Lo?”

            “Kunaon, sih, brader? Bukan mah bahagia mau nikah teh, asa rarungsing kitu,” tambah Hakim.

            Mahen tertawa. “Kenapa? Qisti makin sering marah-marah, ya?”

            “Kok lo tau, Hen?” tanya Charlo otomatis dengan kening berkerut sempurna.

            “Sama, dulu Kak Prima juga gitu, kok. Malah dia minta gue lanjutin doktoral dulu. Lah, makin ke sini, malah makin ke sana.”

            “Anjir, lah, sama. Qisti juga gitu, dia jadi seolah-olah mengundur waktu, bikin rencana buat S2 lah, mau cari beasiswa LPDP lah, udah tau kalau LPDP kan gak boleh nikah dulu.” Charlo mengacak rambutnya sendiri.

            Panji meneguk minuman sodanya, lalu bersendawa pelan sambil memejamkan mata. “Kak Lolo, itu Kak Qisti lagi capek aja kali.”

            “Lo udah yakinin Qisti belum, kalau setelah nikah, Qisti masih bisa buat ngejar semua impiannya?” tanya Jendra dengan nada sangat tenang.

            “Udah, Jen. Bahkan gue udah bilang, kalau dia mau kuliah di luar negeri pun gue bisa biayain, gak perlu cari beasiswa dari pemerintah.”

            Hakim tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aing aja lah yang nikah sama maneh, Lo. Aing mau juga dikuliahin di luar negeri, atuh.”

            Ardana ikut tertawa. “Homo, anjir.”

            Mahen menepuk-nepuk pundak Charlo. “Gini, Lo, menjelang pernikahan itu emang banyak banget cobaannya, deh, asli. Entah mantan kalian datang lagi, entah dari segi keuangan yang merosot, entah dari dua pihak keluarga. Pokoknya kunci dari semua itu ya sabar. Ombaknya emang gede banget, tapi nanti surut juga kok.”

            Charlo benar-benar mendengar petuah yang Mahen berikan. “Iya, kali, ya, Hen.”

            Mahen lalu melihat ke arah teman-temannya. “Coba, gue udah lama gak denger kabar kalian, progres kalian udah sampai mana, nih?”

            “Gak sampai mana-mana, sih,” celetuk Ardana yang masih anteng memakan kacang kulit.

            “Ya gini-gini aja, sih, gue juga.” Jendra ikut menyahut.

            “Gini-gini wae kumaha? Si Zuney gak diapa-apain lagi sama maneh, Jen?” tanya Hakim.

            Charlo tertawa. “Pertanyaan ambigu, anjir. Diapa-apain gimana, deh?”

            “Mahen kan tanya progres, emang progres apaan? Progres karir atau progres hubungan?”

            “Progres... hubungan, sih.”

            “Oh, ya gue sama Zuney... baik-baik aja, sih. Alhamdulillah setelah kemaren Zuney minta gue untuk ambil langkah mundur, tapi gue gak mau mundur.”

(MELINGKAR) VOL. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang