Keping 42

84 9 0
                                    

Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading
.
.
.
.


Jendra tengah menekan-nekan mesin fotokopi yang ada di hadapannya. Berkas-berkas lapangan yang akan menjadi bahan rapat siang ini pun setengahnya sudah berada di dalam map yang Jendra pegang.

“Ngopi dulu, Mas Jendra,” sapa Pak Ari dari arah pintu ruangan. Disusul dengan dua anak buahnya yang kini menggunakan mesin fotokopi lainnya.

Jendra membalasnya dengan senyum sopan. “Iya, Pak.”

“Mas Jendra jadi mutasi ke pulau Jawa?” tanya Kalil, pemuda bertubuh gempal, yang memang seusia dengan Jendra.

“Jadi, Mas.”

“Sayang banget, lho, Mas, baru empat tahun udah mau mutasi,” timpal Sardi, yang ikut membantu Kalil memfotopkopi berkas. “Saya mah ngasih tau aja, ya, jangan lah nikah cepat-cepat. Nanti masa mudamu hilang, apa salahnya nikmati masa lajang dulu.” Usia Sardi memang lima tahun di atas Jendra dan sudah memiliki anak dua.

Jendra tersenyum, tidak tertarik untuk menanggapi ucapan Sardi.

“Tunggu, lah, tiga atau empat tahun lagi. Kau kan bisa menabung dulu untuk beli semua yang nanti kau inginkan. Memag kau tidak punya cita-cita, toh? Rumah, mobil, jalan-jalan keliling dunia, misalnya,” tambah Sardi.

Jendra memilih tetap tenang dan membiarkan temannya terus berbicara.

Pak Ari ikut menimpali, “biarlah Mas Jendra tetap pada pilihannya, Mas Sardi. Kau tau apa tentang kebahagiaan orang lain?”

Sardi tertawa. “Jelas saya tau, Pak Ari. Saya sudah mengalaminya, dan jika saya bisa kembali ke masa lalu, saya akan menikah mungkin di usia tiga puluh. Saya pusing setiap hari harus ikut mengurusi rumah tangga dan membagi hasil uang yang saya cari sendiri, toh.”

“Sepertinya isteri mu yang lebih pusing punya suami kaya kau, Mas Sardi.” Pak Ari tertawa.

Jendra tersenyum, dan merapikan semua berkas yang sudah selesai ia gandakan. Jendra pamit pada ketiga orang itu. Dan kini dirinya berjalan di lorong koridor kantornya. Jendra tida ingin terlibat obrolan yang nantinya akan membuat Jendra ragu akan langkahnya sendiri.

Tidak memberi respon pada ‘si pemanas’ adalah langkah yang tepat, menurutnya. Ketika ‘si pemanas’ mulai mengompori apa-apa yang sedang dijalaninya, cukup diam, dan abaikan. Jangan memberi respon apapun, karena jika kita meresponnya, maka ‘si pemanas’ akan semakin gencar melakukan aksinya, karena merasa mendapat timbal balik yang dia inginkan.

Jadi, kini pemuda itu menarik nafas dalam-dalam, dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Namun, lama-kelamaan kini isi kepalanya mulai terpengaruh oleh ucapan-ucapan itu. Bagaimana jika nanti setelah menikah, Jendra tidak bisa lagi menggunakan waktunya untuk diri sendiri? Apakah semuanya akan baik-baik saja ketika nanti akan ada tanggung jawab besar di pundaknya?

(MELINGKAR) VOL. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang