Sebulan berlalu, namun harum bunga melati khas pengantin baru belum juga memudar. Semerbak, bermekaran dihati kami berdua. Aku dan mas Wisnu.
Bangun setiap waktu subuh, mandi dan salat. Sementara mas Wisnu pergi ke Masjid, menyiapkan kopi dan sarapan menjadi kebiasaan baruku.
Bahagia, itulah yang kami rasakan. Walau tinggal masih mengontrak, tapi hati kita harus seluas rumah gedong. Begitulah kata mas Wisnu. Dia selalu bisa membesarkan hatiku.
Mengontrak menjadi pilihan kami, walau sebenarnya Ibu dan Bapak lebih menginginkan kami tinggal di Rumah mereka. "Hitung-hitung belajar mandiri." Begitu kata mas Wisnu saat memutuskan untuk kami mengontrak.
====
"Jangan lupa, sering-sering tengokin Bapak sama Ibu ya nak?" Begitu pesan Ibu. Tak lupa Ibu mengingatkan untuk aku membawa pemberiannya tempo hari. Selembar kain jarit, pemberian dari nenek sewaktu Ibu menikah dengan Bapak.
"Iya Bu, kan kontrakan Ke sini tidak begitu jauh." Jawab mas Wisnu.
"Padahal baru seminggu menikah, kenapa buru-buru pindah?" ucap Ibu. Ibu seakan berat untuk melepas kami.
"Biar lebih dekat dengan Pabrik Bu. Juga biar Ayu Dan Saya bisa belajar mandiri. Doa kan kami ya Bu?" jelas mas Wisnu.
"Aamiin, Doa Ibu dan Bapak akan selalu menyertai kalian." Begitu tulusnya ucapan Ibu.
=====
Tak Terasa, hampir tiga minggu kami menghuni kontrakan ini.
Rumah sederhana dengan dua kamar tidur, dan ruang TV yang menyatu dengan ruang tamu. Dapur dan kamar mandi beserta toilet yang kecil namun layak dan bersih."Assalamu'alaikum," Terdengar suara mas Wisnu yang baru pulang dari Masjid.
"Waalakumsalam," kusambut salam, setelah kubukakan pintu untuknya. Tak lupa kucium tangannya, dan seperti biasa. Senyuman manisnya, yang selalu mampu membuat pipiku merona. Ah... Alangkah indahnya, betapa kurasa semua yang ada disekeliling merasa iri.
"Mau ngopi dulu, atau langsung sarapan Mas?" tawarku. Sesaat setelah mas wisnu menyerahkan sajadah dan pecinya untuk aku simpan.
"Ngopi saja dulu sayang, hari ini Mas berangkat siang." jawabnya lembut. Begitulah Mas Wisnu, tak pernah berucap keras. Dan selalu memperlakukanku dengan baik.
"Nanti selesai sarapan, Mas antar ke Rumah Ibu ya? " ucapnya. Menghentikan langkahku menuju kamar.
"Kenapa Mas?" Tanyaku penasaran.
"Beberapa hari ini Mas lihat, Istri mas yang cantik ini murung. Pasti rindu Ibu." Lagi, Senyumnya membuatku merona. Betapa kusadari Mas Wisnu begitu memahami apa yang ada didalam hatiku.
Betapa beruntungnya aku."Terimakasih Tuhan, atas kebaikan kebaikanMu padaku" syukurku dalam hati.
=====
Aku tak mampu menutupi kegiranganku ketika motor kami memasuki pekarangan rumah Ibu. Sampai tanpa sadar, aku turun begitu saja saat motor belum berhenti sempurna. "aahh!!" jeritku, ketika hampir saja aku terjatuh. Beruntung tangan mas Wisnu sigap memegangiku.
"Hati-hati sayang," terlihat kaget dan kwatir, begitu erat mas Wisnu memegangi lenganku. Deg deg deg!!, ahh masih saja jantung ini. Entahlah, sebulan menjadi istrinya, malah semakin membuatku salah tingkah atas setiap perlakuannya padaku.
"Eh..hehehe," aku hanya bisa cengengesan menanggapinya. Aku baru sadar, betapa tingkahku seperti anak kecil. Aku lupa, usiaku yang sudah 28th. Bahkan aku sudah menikah.
Terlihat dari arah dalam rumah, Ibu setengah berlari menghampiri kami.
"Ada apa ini Ayu?, kenapa teriak??" Ibu terlihat begitu cemas.
"Assalamu'alaikum," ucap mas Wisnu. Sembari mengulurkan tangan ke Ibu. Dan akupun mengikuti yang dilakukan suamiku.
"Waalakumsalam, ini ada apa toh?" tanyanya lagi. Seakan tidak sabar karena belum juga mendapat jawaban.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Selembar Jarit (TAMAT)
General FictionSelembar Jarit, Hadiah pernikahan dari seorang ibu untuk anaknya yang bernama Ayu. Berharap agar Ayu bisa hamil dan memiliki keturunan. Mungkinkah Ayu hamil dan memiliki keturunan? Sementara ia berasal dari keluarga "Turunan Mandul"? inilah kisahnya...