Aku menjalani kehamilanku dengan penuh suka cita. Mas Wisnu selalu membuatku nyaman, memanjakanku, dan menjagaku.
Sedikit berlebihan memang sikapnya. Bahkan untuk mengangkat satu karton telur yang isinya tidak lebih dari 20butir, aku sudah tidak diperbolehkannya lagi.
"Duduk saja, sayang. Sudah ditemani Adek saja mas Sudah bahagia," begitu ucapnya. Saat aku hendak membantu pekerjaannya.
Hampir semua pekerjaan Rumah, mas Wisnu selalu ambil bagian. Seperti saat aku akan mencuci piring, mas Wisnu yang akan mengumpulkan piring kotor dan membawakannya ketempat cuci. Saat aku hendak menjemur pakaian, mas Wisnu yang selalu membawakan ketempat jemuran. Mas Wisnu selalu berusaha meringankan tugasku sebagai Ibu rumah tangga.
Hari berlalu begitu cepat, hingga tidak terasa aku memasuki masa akhir kehamilan. Ku buka lemari, 'selembar jarit' pemberian Ibu dihari pernikahanku dulu. Awalnya aku sama sekali tidak menyangka akan mendapat kesempatan untuk mengenakannya. Tinggal menunggu hitungan hari, aku akan mengenakannya. Semoga semuanya berjalan dengan lancar.
Tengah malam, aku merasakan mulas. Awalnya ku abaikan, ku coba untuk memejamkan mata lagi. Namun aku rasakan, semakin waktu berlalu semakin sakit itu tak tertahankan. Ku goyangkan tubuh mas Wisnu yang tengah terlelap di sampingku,
"Mas, sakit sekali Mas." rintihku. Seketika Mas Wisnu terbangun,
"Apa sudah waktunya, Dek?" tanya mas Wisnu.
"Perkiraan masih 10hari lagi Mas, tapi sekarang perutku mulas sekali," keluhku.
Mas Wisnu bergegas menyiapkan segala keperluan untuk aku melahirkan. Semua tertata dalam sebuah tas, baju dan segala keperluan bayi, dan tak ketinggalan 'selembar jarit' pemberian dari Ibu.
Sementara aku menunggu, Mas Wisnu meminta tolong Bapak untuk memanggil Pak RT. Pak RT berjanji akan mengantarkan kami ke Puskesmas.
Kami sampai di Puskesmas pukul tiga dini hari. Aku langsung dibawa ke Ruang bersalin, Bidan mulai melakukan pemeriksaan dari tensi darah, denyut jantung bayi, tidak lupa cek bukaan.
Pembukaan 4, aku masih harus menunggu. Sakit semakin tak tertahan, Mas Wisnu terus saja menggenggam tanganku.
Ku rasakan sesuatu yang basah dikakiku, air dan darah. Mas Wisnu panik dan langsung memanggil Bidan. Bukaan 8,
"Kita siap-siap ya Bu, jangan mengejan dulu. Tunggu sampai bukaan lengkap." begitu perintah Bu Bidan.
Keinginan mengejan semakin kuat, dan setelah Bidan memeriksa ternyata sudah bukaan 10. Lengkap,
"Ikuti arahan saya ya, Bu? Bismillah," begitu ucapnya.
Aku dan mas Wisnu tidak sempat menanggapi. Ku ikuti semua arahan Ibu Bidan. Tak butuh lama, hanya tiga kali mengejan. Lahirlah putri pertama kami. Sangat cantik,sehat dan sempurna.
Ku serahkan 'selembar jarit' yang sedari tadi menemaniku,
"Ini Bu, bedong bayi saya dengan ini." pintaku.
Ibu Bidan hanya tersenyum,menuruti permintaanku.
"Terimakasih Sayang," ucap mas Wisnu. Ditimangnya bayi mungil yang baru saja ia adzani.
"Sama-sama, Mas." ucapku.
"Terimakasih, Ibu. Semoga Engkau melihat dan ikut merasakan kebahagiaan kami di sini," batinku.
"Selamat ya, Ayu? " ucap Bapak dengan binar wajah penuh kebagiaan.
"Terimakasih, Pak"
"Sama-sama, Nak. Semoga menjadi penyejuk hati kamu dan Wisnu." doa Bapak. Begitu tulus, aku dan Mas Wisnu mengamini.
Kami semua larut dalam kebahagiaan, tiada yang mustahil. Walau aku terlahir dalam keluarga 'turunan mandul' jika Tuhan mwngijinkan, Aku dapat mengandung dan melahirkan. Sekali lagi, Tuhan menunjukan satu dari seribu satu kebaikanNya padaku.
"Alhamdulillah" ucapku dalam hati.
TAMAT.
Terimakasih sudah mengikuti cerita ini...
Semoga terhibur, syukur2 ada pelajaran yang bisa kita petik bersama..
Oh, iya.
Ini cuma selingan ya...
Cerita Horor baru, sebentar lagi akan saya up... 🤗Sampai jumpa di cerita yang lain... 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Selembar Jarit (TAMAT)
General FictionSelembar Jarit, Hadiah pernikahan dari seorang ibu untuk anaknya yang bernama Ayu. Berharap agar Ayu bisa hamil dan memiliki keturunan. Mungkinkah Ayu hamil dan memiliki keturunan? Sementara ia berasal dari keluarga "Turunan Mandul"? inilah kisahnya...