Waktu Terus Berjalan

642 62 2
                                    

Ibu ditidurkan di sebuah pembaringan. Masih sama, dengan sebuah kain jarit yang menutupi sekujur tubuhnya.

Bayangan-bayangan masa kecil bersama Ibupun bermunculan. Saat aku sakit, Ibu lah yang berjaga tanpa mempedulikan kantuk, dan lelahnya. Saat aku malas makan, tangan Ibu yang dengan telatennya menyuapiku suap demi suap hingga aku kenyang. Ibu yang selalu membelaku ketika semua orang menghinaku dengan sebutan 'turunan mandul'

Seketika, kenyataan itu menyadarkanku. Ibu sudah tiada. Tak akan lagi hadirnya menjadi penyejuk pandangan dan hati kami. Bapak, aku dan mas Wisnu, kami semua terpukul atas kenyataan ini.

Bagaimana bisa, Tuhan mengambilnya sebelum aku puas menunjukan baktiku padanya. Bahkan aku belum mampu mewujudkan keinginannya. Bisakah waktu bertoleransi pada kami, memeberikan masa nya untuk kami lebih banyak lagi saling mencurahkan kasih dan sayang. Satu lagi kenyataan yang tak mampu aku tolak, waktu tak akan kembali. Begitupun dengan Ibu yang telah pergi, ia tak akan kembali.

Entah berapa kali aku jatuh pingsan, aku terus saja berharap ini hanya mimpi. Saat aku terbangun, aku ingin Ibu masih di sampingku dengan kondisi yang sehat. Namun lagi-lagi justru kenyataan pahit yang aku terima, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.

Salah seorang yang bertugas mengkafani ibu meminta kami untuk melihat wajah Ibu untuk yang terakhir kalinya. Ku kuatkan langkahku, ku coba mendekat. Namun ternyata sama. Saat aku menatap jasadnya yang kini terbujur kaku tak lagi bernyawa, seketika semua menjadi gelap.

Hingga tiba waktu untuk mengantarkan Ibu ke tempat peristirahatannya yang terakhir, aku belum juga mampu menerima kenyataan ini.

Aku tidak peduli dengan semua orang yang ada di sini. Mereka terus saja memintaku untuk sabar dan ikhlas, namun pikiranku tak mampu mencerna nasehat dari mereka.

Ibu, selama hampir 30tahun kita bersama.  Selama itu tak pernah aku temukan sosok sesempurna dirinya. Manusia yang mampu menutupi segala kesakitannya didepanku, anaknya. Aku, anak perempuan satu-satunya Ibu. Aku yang bahkan belum bisa memberikan sedikit kebahagiaan untuknya. Aku yang belum bisa mewujudkan impiannya. Menimang cucu, sesederhana itu impiannya. Kini, Tuhan telah memanggilnya.

Keranda digotong meninggalkan pekarangan rumah kami. Aku tahu, aku sadar, Ibu takan pernah kembali ke Rumah kami lagi. Aku kembali menangis, tak bisa lagi aku elak kenyataan yang menyakitkan ini. Ibu benar-benar sudah pergi, dan tak akan pernah lagi kembali.

Selamat jalan Ibu, semoga engkau mendapat tempat yang terbaik di sisiNya.

Waktu terus saja berjalan. Bukan mudah, namun aku mampu tuk menjalaninya. Melewati kesedihan, dan berusaha menerima takdir yang Kuasa. Mas Wisnu, tak pernah lelah menemaniku. Disaat aku terjatuh, tangan kokohnya kan membantuku untuk bangkit. Disaat semua orang mencaci dan mencibirku, menyalahkanku atas meninggalnya Ibu. Mas Wisnu selalu meyakinkanku, bahwa ini bukanlah salahku.

Ibu Lasmi, perempuan itu benar-benar membuktikan ancamannya. Menyebar fitnah untuk menjatuhkan keluarga kami. Akulah penyebab kematian Ibu, aku yang membuatnya sakit karena kabar bohong soal kehamilan dan keguguran yang aku alami.

Lagi-lagi mas Wisnu membuatku merasa aman, ia selalu membela dan melindungiku.

Demi menjaga dan menemaniku dalam kesedihan, mas Wisnu meninggalkan pekerjaannya. Dengan mantap mas Wisnu memulai usaha di Rumah. Telur asin, bagaimana mas Wisnu merintis usaha ini dari nol. Telur bebek dari ternak bebek Bapak, mas Wisnu olah hingga menjadi telur asin. Dari berjualan keliling menggunakan motor, menitipkannya di warung-warung, hingga menjualnya secara online. Dalam hitungan bulan usaha telur asin keluarga kami berkembang pesat. Telur bebek dari ternak Bapak tidak lagi mampu memenuhi pesanan. Hingga kami harus mendatangkan telur dari beberapa peternak bebek di kota kami.

Seiring dengan kesibukan, perlahan aku melupakan kesedihanku. Tentang keinginan untuk hamil, dan kepergian Ibu.

Terkadang tubuhku terasa lelah, hingga mas Wisnu melarangku untuk membantunya. Namun, lelah ini sungguh membahagiakanku. Tak aku rasakan badan yang mulai meriang dan perut yang terasa tidak enak.

Entah keyakinan dari mana, sepulang mengantar telur asin mas Wisnu menyodorkan padaku sebuah alat tes kehamilan. Aku ragu,

"Masa iya sih, Mas? Aku hamil, kayanya cuma masuk angin ini," jawabku saat menerima pemberiannya.

"Coba aja tes Dek, tapi Mas kok yakin ya?" ucapnya.

"Nanti kalau negatif bagaimana mas?" tanyaku. Aku takut mas Wisnu akan kecewa jika dugaannya ternyata salah.

"Enggak apa-apa Dek. Berarti belum jadi rejeki kita." jawabnya. Aku sedikit tenang, aku beranikan diri menuju ke Toilet untuk melakukan tes.

Deg.. Deg.. Deg... Jantungku berdetak sangat cepat, 30detik terasa sangat lama bagiku. Ku pandangi alat tipis panjang itu, perlahan muncul dua garis samar. Aku belum mau berharap terlalu tinggi. Semakin ku tunggu, garis itu semakin menebal dan jelas menunjukan dua garis merah. Mataku basah, "aku hamil" batinku.

Aku keluar menuju kamar, Mas Wisnu menunggu dengan raut penuh ketegangan.

"Bagaimana,Dek?" tanyanya.

Aku menggeleng, bingung bagaimana aku memberitahukan kabar bahagia ini. Aku terlalu bahagia, tak mampu berbicara. Aku menangis. Mas Wisnu memelukku,

"Enggak apa-apa, Dek. Mungkin belum waktunya, sabar sayang" ucapnya.

Perlahan aku melepas pelukannya. Ku tatap wajah suamiku, dengan gemetar kutunjukan alat tes kehamilan dengan dua garis merah.

Mas Wisnu tak berbicara apapun, ia menangis dan memelukku. Diciuminya puncak kepalaku berkali-kali.

Kami larut dalam keharuan, tangis kebahgiaan.

Bersambung...

Selembar Jarit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang