Kenyataan Pahit 1

511 56 2
                                    

"Apa lagi ini Tuhan?" tanyaku dalam hati. Belum juga hilang rasa sedihku, Kau tambahkan lagi. Aku diam mematung, bahkan untuk menangispun aku tidak sanggup lagi.

Kami hening, mungkin mas Wisnu juga sama terpukulnya denganku. Walau hanya anak mantu, aku tahu mas Wisnu begitu menyayangi Ibu.

"Antar aku bertemu ibu, Mas." pintaku. Sedikit memaksa, aku terus saja merengek seperti anak kecil.

"Adek masih harus istirahat, Sayang" tolaknya. Aku semakin memaksanya, aku tak peduli dengan kondisiku. Aku ingin bertemu Ibu, hanya itu. Aku belum akan tenang jika belum bertemu dengan Ibu. Bagaimana aku bisa istirahat, jika fikiranku tidak karuan?

Akan aku pastikan, jika Ibu benar baik-baik saja. Mas Wisnu bergeming. Aku sambar kunci motor yang menggantung dibalik pintu kamar.

"Kalau Mas tidak mau mengantar, biar aku pergi sendiri." ancamku. Mas Wisnu mengejarku.

"Baik, Mas antar." jawabnya. Luluh.

Sepanjang perjalanan kami hanya saling diam. Sampai akhirnya kami tiba disalah satu Rumah Sakit Umum Daerah. Tempat dimana Ibu dirawat.

"Dimana Mas?" tanyaku. Tanpa bicara mas Wisnu mengarahkanku. Sampailah kami diruang rawat dengan tiga ranjang pasien dengan tirai sebagai pembatasnya.   Mas Wisnu membimbingku untuk masuk ke Ranjang Pasien no 3, dipojok ruangan.

Aku gemetar, ini pertama kalinya, aku melihat Ibu masuk Rumah Sakit. Ibu, wanita kuat yang hampir tidak pernah mengeluh. Apalagi jatuh sakit. Dan sekarang harus terbaring lemah dalam perawatan. Apakah semua ini salahku.

"Ibu, maafkan Ayu." pintaku dalam hati. Aku menangis.

"Ayu,..." panggilnya. Dengan melambaikan tangannya, ibu memintaku untuk mendekat. Aku menurut, ku hamburkan tubuhku kedalam pelukannya.

"Maafkan Ibu ya Nak, Ibu tidak bisa menemani disaat tersulitmu." Ibu menangis. Ku eratkan lagi pelukanku.

"Ayu yang minta maaf Bu. Ayu yang bikin Ibu seperti ini, Ibu pasti sangat kecewa dengan Ayu."

Tak ada lagi yang berbicara, Semua menangis. Aku, Ibu, Mas Wisnu, dan bahkan Bapak. Yang selama aku menjadi anaknya, aku tak pernah melihatnya menangis.

Sungguh luar biasa apa yang tengah menimpa kami.

"Bagaimana kata Dokter Bu?" tanya mas Wisnu. Memecah keheningan diantara kami.

"Alhamdulillah nak, semakin baik. Besok Ibu sudah boleh pulang." jelas Ibu.

Aku tak ingin beranjak dari sisinya. Tak aku pedulikan kondisiku yang belum sepenuhnya pulih. Ibu terus saja meyakinkanku, bahwa ini bukan salahku. "penyakit tua," begitu katanya.

Hingga waktu siang, seorang petugas mengantarkan jatah makan untuk ibu. Bubur putih, hanya itu. Tanpa sayur, dan tanpa tempe ataupun tahu, apalagi daging.

"Ibu makan ya? Ayu yang suapin," pintaku. Ibu menggeleng. Namun Bapak dan mas Wisnu terus saja membujuknya.

"Tidak ada rasanya, Ibu mau makan nasi dan oseng bikinan Ayu," protes ibu.

"Iya, nanti kalau Ibu sudah pulang. Ayu masakin ya? Sekarang makan buburnya dulu." jawabku.

Dan akhirnya Ibu menurut untuk makan. Belum ditelan, Ibu seperti mau muntah. Suapan kedua, Ibu terlihat begitu kesakitan. Memegangi perutnya. Dan akhirnya muntah. Ibu tidak mau lagi untuk melanjutkan makan.

Ibu terlihat begitu kesakitan, dahinya mengernyit. Saat aku tanya mengapa, dengan senyum yang dipaksakan Ibu selalu menjawab tidak apa-apa. Begitulah Ibu, wanita tangguh yang selalu bisa menutupi semua yang menjadi kesakitannya.

"Ayu panggilkan Dokter ya, Bu?" tanyaku. Saat aku lihat Ibu tak juga membaik.

"Tidak perlu Ayu, Ibu tidak apa-apa?" Ibu meyakinkanku.

"Tapi Ibu terlihat sangat pucat," bujukku. Aku yakin Ibu butuh penanganan segera. Namun, lagi-lagi Ibu melarangku untuk memanggil Dokter.

"Ibu tidak apa-apa"

Aku tidak percaya, entah sakit apa yang Ibu derita. Sampai saat ini belum ada yang menerangkannya padaku.

Bersambung....

Selembar Jarit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang