Tetangga Julid

828 78 6
                                    

Ingin rasanya ku ucap kata rindu pada Ibu, namun terasa berat dikerongkongan. Hanya dengan pelukan, aku ungkapkan perasaan rindu ini. Ku eratkan lagi pelukanku. Tak terasa, air mata begitu deras dipipiku. Yang membuat Ibu semakin kebingungan.

"Anak kesayangan Ibu ini sangat rindu sepertinya Bu," mas Wisnu menjelaskan.

Sejak pindah, baru hari ini kami bisa mengunjungi ibu. Bukan karena mas Wisnu tidak mau mengantar. Hanya saja waktu kami habis untuk berbenah tempat tinggal kami yang baru. Kontrakan yang kami huni sekarang, rumah yang menurut pak RT sudah lama tidak dihuni. Pak RT lah yang dipercaya untuk sesekali mengecek kondisinya. Dan juga menjadi perantara kami dengan pemilik rumah. Dan itu membuat kami harus ekstra untuk membersihkan dan menata agar layak dan nyaman kita tinggali.

Aku tidak lagi bekerja, karena mas Wisnu lebih menginginkan aku menjadi ibu rumah tangga. Dan aku sama sekali tidak keberatan. Mengurus rumah, dan memastikan kebutuhan mas Wisnu terpenuhi dengan baik. Itu sangat menyenangkan.

"Eh alah.. Mari masuk, malu dilihat orang," ibu melepaskan pelukanku.

"Mari nak Wisnu," ibu mempersilahkan menantunya untuk ikut kami kedalam rumah.

Belum sampai ke Teras, langkah kami terhenti oleh panggilan seorang tetangga.

"Ayu, baru keliatan. Masih anget ya, pengantin baru," setengah mencibir Bu Lasmi menyapaku. Tanpa permisi, begitu saja ia masuk kedalam pekarangan rumah Ibu.
Belum juga kami menjawab,

"Bagaimana, udah isi belum? sudah sebulan menikah loh. Ponakanku, sebulan langsung isi," ceritanya, tanpa kami bertanya.

"Be.. Belum Bu," jawabku. karena memang benar beberapa hari yang lalu aku baru selesai haid.

"Duh!!, bahaya kalau gitu. Jangan jangan kamu mandul," ucapnya. tanpa memikirkan perasaan kami yang mendengar. Bahkan tak mempedulikan espresi wajah ibu yang merah padam. Marah, aku tau saat ini ibu sedang marah.

"Doakan saja ya Bu, semoga masa masa bulan madu ini segera diberi hasil." Ucap mas Wisnu.

"Alah, emang dasarnya turunan mandul, kamu aja bodoh. Mau sama perawan tua,mandul pula," ocehnya, begitu menyayat hati ini. Kulihat Ibu, yang tak lagi mampu menahan tangisnya.

"Ayo kita masuk Bu, permisi Bu Lasmi." Aku gandeng lengan keriputnya untuk memasuki Rumah.

"Mandul atau tidak, kami belum tahu Bu. Dokter saja memvonis bisa salah." Bela suamiku.

"Mandul ya mandul saja, kasian kamu," belum juga puas Bu Lasmi mencaci aku dan keluargaku.

"Jika itu kehendak tuhan, masih banyak anak yatim Bu, tidak harus lahir dari rahim sendiri," Pembelaan mas Wisnu yang bisa kudengar jelas dari ruang tamu. Sejuk, lega. Betapa aku menyadari, mas Wisnu sepenuhnya menerimaku.

"Permisi Bu, saya masuk dulu," pamitnya meninggalkan Bu Lasmi yang sepertinya masih punya seribu argumen.

Dan kini, aku, Ibu dan mas Wisnu hanya saling diam. Ruang tamu begitu terasa sunyi.
Kulihat beberapa kali mas Wisnu menghembuskan nafas berat. Jengkel juga sepertinya. Kudengar lirih mas Wisnu terus saja beristigfar. Dan Ibu, masih saja menangis tanpa suara.

"Ibu kedalam dulu," Tanpa menoleh, Ibu memasuki kamarnya.

Mas Wisnu mendekat, merangkul dan mengecup puncak kepalaku. Runtuh pertahanku, aku menangis dipelukan mas Wisnu.

Saat aku mulai merasakan ketenangan.

"Sabar Sayang, masih sebulan ini. Bukankah ini masa masa bulan madu untuk kita. Jangan dipikirkan ya, omongan  tetangga tadi." Mas Wisnu coba menghiburku.

"Tapi Mas... " belum sempat ku melanjutkan ucapanku, mas Wisnu mengeratkan pelukan nya.

"Kita berbaik sangka saja ya sayang, jangan berpikir yang tidak-tidak." Sambungnya.

Ku anggukan kepalaku, tanda setuju.

"Mas nanti berangkat jam berapa?" tanyaku.

"Nanti selepas salat dzuhur. Adek disini saja dulu, temani ibu. Nanti malam mas kesini lagi sepulang kerja, malam ini kita menginap disini ya?" terangnya. Seakan tau, aku rindu Bapak, Ibu dan aku rindu Kamarku. Apalagi dengan kejadian tadi, ibu pasti butuh ada yang menemani.

"Mau dimasakin apa mas?" tanyaku. Setelah kupastikan didapur belum ada makanan.

"Apa saja sayang, masakan istri mas pasti enak semua," jawabnya. Sedikit merayu. Dan lagi, aku tersipu dibuatnya.

Bersambung...

Selembar Jarit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang