Ku mulai aktifitasku sebagai Ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel, dan bersiap untuk belanja sayur. Begitupun mas Wisnu, yang telah siap dengan motornya untuk mengantarku ke Pasar. Iya, sejak menikah mas Wisnu tak pernah membiarkanku untuk pergi sendiri. "Khawatir, dan lebih baik jika ia temani." Begitu katanya.
Ku beli beberapa ikat sayur, beberapa potong tempe dan tahu, telur dan tak ketinggalan tauge. Asal cukup untuk masak tiga hari.
Untuk daging, Aku dan mas Wisnu mempunyai selera yang sama. Kami tidak begitu menyukai daging, sapi maupun ayam. Hanya sesekali saja.
Semua belanjaan telah selesai aku beli, termasuk bumbu bumbu. Kamipun segera pulang.
"Hari ini kita masak tumis kangkung, goreng tempe, dan sambel kroes tauge ya Mas?" Tanyaku. Sembari menata belanjaan.
"Iya, sini Mas bantuin." Diambilnya plastik bumbu yang kami beli dipasar tadi. Bawang merah, bawang putih, cabai dan tomat. Semua ditata di Tampah, kecuali cabai. Mas Wisnu menatanya diwadah kedap udara sebelum menyimpan nya ke kulkas. Begitulah suamiku, apapun mau dilakukannya untuk membantuku.
"Terimakasih Mas," ku lanjutkan memotong kangkung, dan menumisnya.
Bahagia, memiliki suami yang selalu memperlakukanku dengan baik. Hampir sempurna. Memiliki suami tampan, soleh, dan begitu memahamiku. Begitu menerimaku. Tapi aku? Entahlah, sudahkah aku menjadi istri yang baik, dan membanggakannya?.
Lagi, aku melamun lagi. Pikiranku kemana mana tak karuan. Sampai mas Wisnu setengah berteriak mengingatkanku,
"Awas Dek, tempenya!"
Dan, tempenya???
Gosong!!
"Astagfirullah, yah! Gosong Mas," ku matikan kompor dan segera mengangkat tempe yang sudah kehitaman. Gosong.
"Ha Ha Ha Ha, tidak apa apa Dek. Kan masih ada yang tidak begitu gosong. Pahit sedikit, hitung-hitung jamu." Ucapnya. Mas Wisnu, bahkan masih bisa tertawa. Dan lagi, senyuman dan perlakuan lembutnya semakin membuatku jatuh cinta.
Cinta, entah sejak kapan rasa itu mulai tumbuh. Bahkan sampai dihari pernikahan aku tak pernah memikirkannya. Apa aku benar benar mencintainya. Tapi detik ini, aku berani pastikan. Aku mencintainya, begitu sangat mencintainya. Suamiku.
Semua telah siap, tumis kangkung, tempe yang 'Tidak terlalu' gosong, dan sambel kroes tauge. "Tidak terlalu," begitu kata mas Wisnu, untuk tempe yang sebenarnya benar benar gosong. Kami menikmatinya.
Begitu selesai, segera kucuci piring dan gelas bekas makan kami.
Tak terasa, adzan dzuhur berkumandang. Mas Wisnu yang telah siap dengan sajadah dan peci bergegas ke Masjid dekat rumah.
Dan, aku segera mandi dan menunaikan salat dirumah.Aku bersujud. Ku benamkan wajahku lebih dalam lagi, lebih lama lagi. Ku mohonkan agar tuhan memberiku kepercayaan. Kusemogakan agar disegerakan. Dan semoga aku pantas. Pantas, mengandung dan melahirkan. Semoga aku pantas menjadi seorang ibu.
Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa pernikahan aku dan mas Wisnu sudah masuk bulan ke tiga.
Tanpa aku sadari, entah sudah berapa lama aku tidak mendapat jatah bulananku. Terlihat dari sebungkus pembalut yang masih utuh didalam laci. Itu artinya, satu bulan lebih aku terlambat datang bulan."Mungkinkah aku hamil?" batinku. Sedikit ragu, dan tak ingin kecewa nantinya. Ku tepis pikiran, yang mungkin khayal bagiku.
Ku rebahkan badanku yang terasa meriang, pusing dan sangat mual. "Mungkin asam lambungku naik lagi," fikirku. Karena memang beberapa hari ini makanan sulit sekali tertelan olehku. Bahkan sayur tauge tak juga ampuh untuk membuatku berselera makan.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Selembar Jarit (TAMAT)
General FictionSelembar Jarit, Hadiah pernikahan dari seorang ibu untuk anaknya yang bernama Ayu. Berharap agar Ayu bisa hamil dan memiliki keturunan. Mungkinkah Ayu hamil dan memiliki keturunan? Sementara ia berasal dari keluarga "Turunan Mandul"? inilah kisahnya...