Kesedihan Ibu

707 72 0
                                    

Mas Wisnu pamit, untuk berangkat bekerja. Setelah dengan lahapnya menghabiskan nasi dengan oseng tauge dan tahu. Tauge, sayur favoritku. Hampir setiap hari aku mengkonsumsinya. Bukan karena benar benar suka. Hanya saja ada yang pernah mengatakan padaku, "makan tauge, biar nggak mandul,"  begitulah. Anggap saja ini wujud usahaku untuk bisa memiliki keturunan.

Ibu, bahkan sampai sekarang beliau belum keluar kamar. Dan akupun mulai khawatir padanya.

"Assalamualaikum, Bu." aku coba mengetuk pintu kamarnya. Tak ada sahutan.

"Ayu masuk ya Bu?" Izinku. Ku buka pintu yang memang tidak terkunci. Ku lihat Ibu yang tengah berbaring menghadap tembok. Bahunya bergetar, aku yakin ibu sedang menangis.

Tak tahan, aku berlari memeluknya.

"Maafkan Ayu ya Bu, gara gara Ayu..." Tak sanggup aku melanjutkan, tangisku meledak.
Ku peluk erat punggung Ibu. Tubuh nya kini semakin kurus.

Ibu berbalik menghadapku. Tangisnya mereda, diusapnya air mataku yang malah semakin deras.

"Bukan salah kamu nak, mungkin memang belum saatnya. Untuk kamu mengandung, " Ibu coba menenangkanku.

"Ibu, aku tahu sebenarnya Engkau pun hancur dengan cibiran Bu Lasmi tadi," batinku. Namun apalah dayaku. Aku tak tau bagaimana cara menenangkanmu, mendamaikan hatimu. Ibu.

"Suamimu kemana?, maaf Ibu tidak juga keluar. Ibu tidak ingin kalian melihat Ibu menangis." Jelasnya.

"Mas Wisnu sudah berangkat kerja Bu, tadi Ayu sudah memasak. Ibu makan Ya?, sudah Ayu siapkan." Ajakku.

Ibu menurut, ku tuntun Ibu ke meja makan.

"Bapak masih jaga bebek, Bu?" tanyaku. Saat kusadari bapak tidak nampak sejak kedatanganku. Bapak peternak bebek, yang seringkali menghabiskan waktunya untuk menjaga bebek. Jika siang sampai sore Bapak mengangon bebek bebeknya kesungai. Menjelang malam, bapak baru sampai rumah.

"Iya, kamu sudah makan nak?" tanya Ibu.

"Sudah Bu." jawabku, berbohong. Aku belum makan. Aku hanya menemani mas Wisnu makan, dan meyakinkan aku akan makan bersama Ibu.

Entahlah, perkataan Bu Lasmi begitu menyakitkan bagiku. Sampai selera makanku hilang.

Hingga malam tiba, Ibu dan bapak mengajakku untuk makan malam. Aku menolaknya. Dengan alasan yang sama, nanti saja. Sekalian makan bersama mas Wisnu.

"Assamualaikum," terdengar suara mas Wisnu.

Mas Wisnu pulang, segera ku tepis perasaan perasaan yang menggangu. Aku tidak ingin mas Wisnu menjadi terbebani. Aku tidak mau mas Wisnu melihatku dengan wajah yang masam. Ku ukir senyum semanis mungkin.

Aku menunggu dimeja makan, setelah semua keperluan mas Wisnu selesai aku siapkan. Air hangat untuk mandi, dan baju ganti. Tak lupa Sajadah dan peci, untuk mas Wisnu salat.

"Bapak sama Ibu sudah tidur dek?" tanya mas Wisnu. Menghampiriku dimeja makan. Aku yang tengah mengisi piring dengan nasi beserta lauknya.

"Sudah Mas, mari makan." Ajakku.

Aku dan mas Wisnu terbiasa makan sepiring berdua, jika berada dirumah. "agar lebih saling memahami, dan tahu arti berbagi." Begitulah yang mas Wisnu katakan diawal kami menikah.

Pagi ini, setelah kami selesai sarapan bersama. Bapak pamit ke Kandang Bebek. Begitupun aku dan mas Wisnu, kami pamit untu pulang ke Kontrakan.

Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Betapa ucapan Bu Lasmi mengganggu pikiranku.

Pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu, mulai bermunculan dalam otak-ku.

Mungkinkah benar, aku mandul?
Bagaimana dengan Bapak dan Ibu?, bukankah mereka sangat ingin memiliki cucu?

"Dek, Dek. Sudah sampai," Mas Wisnu menyadarkanku. Kami telah sampai didepan Kontrakan.

Bersambung...

Selembar Jarit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang