Kenyataan Menyedihkan

509 60 3
                                    

Hingga waktu malam tiba, aku tak juga ingin keluar. Menyendiri, itu yang aku butuhkan saat ini. Tak ada yang membujuk-ku untuk keluar, Mas Wisnu atau bahkan kedua orang tuaku. Mungkin mereka sudah benci padaku.

Sampai akhirnya, seseorang mengetuk pintu kamarku.
"Buka pintunya Sayang, biarkan Mas masuk," bujuknya. Sepertinya Mas Wisnu masih peduli padaku, atau hanya kasian?

Aku tidak mau dikasihani. Aku tidak pantas, karena memang ini kesalahanku. Iya, aku terlalu memikirkan perkataan kejam Bu Lasmi. Aku stres!!  Aku yang membuat aku dan mas Wisnu kehilangan calon bayi kami. Aku yang salah, AKU!.

"Aaaahh!!!" Aku berteriak seperti orang kesetanan.

Suara ketukan itu menjadi gedoran. Aku tahu, seseorang yang diluar sana tengah mencoba membuka paksa pintu. Braaak!!!  Pintu itu terbuka. Mas Wisnu mendobraknya. Ia berlari memeluk-ku.

"Tenang, Sayang." pintanya. Mas Wisnu memeluk-ku begitu erat, hingga aku tak mampu melepaskan pelukannya. Kucoba sekuat tenaga mendorongnya, agar ia menjauh dariku. Tak berhasil, Mas Wisnu semakin erat memeluk-ku.

Kurasakan sesuatu yang basah mengenai rambutku. Mas Wisnu menangis. Sekali lagi, aku menjadi sebab kesedihannya.

"Maafkan aku mas," batinku. Aku tak mampu mengatakannya langsung.

Aku benci diriku sendiri. Mengapa aku harus menjadi sebab kesedihanmu?
Sesalku, aku tak mampu membahagiakanmu. Suamiku.

Mas Wisnu mengendurkan pelukannya, saat aku tak lagi melawan.

"Kita hadapi ini sama-sama ya?" ucapnya. Ditangkupnya wajahku untuk menatapnya. Tak sedikitpun aku melihat kemarahan padanya. Ketulusan, hanya itu.
Mas Wisnu benar-benar menepati janjinya  dahulu. Ia akan menerimaku, benar-benar menerimaku. Bahkan disaat aku mandul sekalipun. Tuhan, akankah ada lagi kesempatan untuk-ku?

Aku ingin sekali membahagiakannya. Aku juga ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Tuhan, semoga Engkau memberiku kesempatan.

Bapak, Ibu. Aku baru menyadari. mereka tidak terlihat bahkan dari pertama aku sampai di Rumah. "Kemana Bapak dan Ibu?" tanyaku dalam hati.

"Istirahat ya sayang," perintahnya. Mas Wisnu membantuku untuk berbaring.

Dikecup keningku. Ku palingkan wajahku, tak sanggup aku menatapnya lebih lama. Aku begitu merasa bersalah pada suamiku, aku tak bisa menjaga calon bayi kami dengan baik. Dalam hati, aku terus saja menyalahkan diriku sendiri.

"Maafkan aku Mas," ucapku berulang dalam hati. Hingga aku terlelap.

Pagi-pagi sekali mas Wisnu membangunkanku.
"Sarapan sayang," senyumnya yang khas menyambutku pagi ini. Nasi dengan telur dadar dan susu hangat. Iya, mas Wisnu hanya bisa memasak telur dadar. Soal rasa, menurutku lebih enak dari warung Tegal didepan jalan sana.

Tak terasa, nasi dipiring habis tak bersisa. Begitupun dengan susu hangat yang mas Wisnu bawakan.

Hari ini perasaanku sudah jauh lebih baik. Sedikit lega karena mas Wisnu tak berubah, masih saja dengan perlakuan yang hangat padaku.

"Ibu sama Bapak kemana mas?" tanyaku. Penasaran, karena sampai detik ini aku bahkan tidak mendengar suara keduanya.

"Adek istirahat aja dulu ya," pintanya. Aku tahu ada yang tidak beres, Mas Wisnu menyembunyikan sesuatu dariku.

"Ibu dan bapak mana?!" tanyaku lagi. Aku mulai tidak sabar, karena Mas Wisnu tak juga mau menjawab. Aku mulai menangis, perasaan tidak enak menghampiri.

"Ibu, ada di Rumah Sakit. Dan Bapak menjaganya disana" jelasnya.

Deg!!  Serasa ada sesuatu yang sangat berat menghantam dada ini. Sesak sekali rasanya.

Bersambung....

Selembar Jarit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang