Hari ini adalah hari Minggu, Bia yang sedari tadi sudah bangun masih bergelut di atas kasur dengan malas-malasan, saat ini jam menunjukkan pukul delapan pagi. Bia bangkit, melakukan beberapa peregangan kemudian turun dari kasurnya. Berjalan keluar kamar tanpa mandi dan merapikan tempat tidurnya terlebih dahulu.
Bia punya slogan, Kalau sebentar bakalan berantakan lagi buat apa dirapikan. Itulah kenapa kasurnya tidak pernah benar-benar rapi, kecuali kalau sang Mama yang merapikan. Dan slogan untuk hari Minggu, kalau bisa mandi sore kenapa harus pagi. Alasan kenapa Bia tidak pernah mandi pagi saat hari libur.
"Ngapain lo ke sini pagi-pagi," ucap Bia saat melihat Angkasa yang sudah ada di meja makan menikmati nasi goreng buatan sang mama. "Bia, yang sopan. Aka itu lebih tua dari Bia," tegur sang Mama saat melihat Bia yang keseringan sinis jika bicara dengan Angkasa, juga Bia tidak pernah memanggil kakak pada Angkasa meskipun Angkasa lebih tua dua tahun dari Bia.
"Tau nih Mah, panggil kakak napa dek atau panggil Abang Aka aja deh," ucap Angkasa, sedangkan Bia langsung mencibir, "Itu maunya Lo," ucap Bia pelan hanya ditujukan pada Angkasa.
"Mah, dengar tuh adek-," ucap Angkasa berniat mengadukan Bia namun tangan Bia lebih dulu menarik mulutnya, membuatnya diam. Angkasa memang memanggil Mama juga pada mama Bia karena ibunya yang bersaudara dengan mama Bia.
"Cepu banget sih Abang Aka," ucap Bia menekankan dua kata terakhir yang keluar dari mulutnya membuat Angkasa tertawa lebar, sedangkan sang mama hanya tersenyum melihat anak dan keponakannya yang memang sudah tumbuh bersama dari masih kecil.
"Bia gak sarapan?" Tanya sang Mama saat Bia tidak mengambil nasi goreng yang ada di atas meja. "Gak mah, Bia mau makan roti bakar aja," ucap Bia kemudian mengambil roti dan selai.
Saat Angkasa sudah selesai makan, dia keluar dari dapur dan duduk di teras rumah. Sedangkan Bia masih sibuk dengan roti bakar yang akan jadi sarapannya pagi ini.
"Mah, mau roti bakarnya gak?" Bia menawarkan roti bakar pada sang mama yang sudah siap-siap keluar lewat pintu belakang, kegiatan hari libur yaitu berkebun. "Gak usah sayang, buat Bia saja mama sudah sarapan tadi."
Bia kemudian berjalan ke depan dengan piring yang berisi roti bakar di tangannya. Bia masih mengenakan baju kaos dengan celana tidur, jangan lupakan rambutnya yang acak-acakan karena belum tersentuh sisir.
"Abang Aka, mau roti bakar gak?" Bia bersenandung memanggil Angkasa yang dia tahu sedang duduk di teras rumahnya. Saat Bia sudah sampai di teras, ternyata ada orang lain yang sedang bersama dengan Angkasa. Seorang laki-laki dengan pakaian kasual, matanya yang berwarna keabu-abuan menatap Bia dari atas sampai bawah. Sebuah senyuman terukir di bibirnya.
Sedangkan Bia masih diam mematung, hingga kesadaran kembali menghampirinya. Bia memutar tubuhnya, tanpa mengatakan apapun Bia berlari masuk ke dalam rumah. Sedangkan di luar sana sepertinya Angkasa sedang menertawakannya, Bia masih bisa mendengarnya meskipun sudah ada di dalam kamarnya.
"Kenapa gue selalu bikin malu diri sendiri di depan dia sih," ucap Bia kemudian mengacak-acak rambutnya yang memang tidak pernah diikat karena panjangnya yang hanya sebahu.
Bia kemudian memeriksa hpnya, ada banyak pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Tapi Bia tahu siapa orang yang mengirim pesan-pesan ini, siapa lagi kalau bukan orang yang ada bersama Angkasa di teras rumahnya.
Bia bergegas mandi, dan bersiap-siap. Bia lupa kalau hari ini dia akan keluar dengan kakak kelasnya itu atau mungkin pacarnya, Axel. Ternyata Axel sudah mengirim pesan dari tadi kalau dia akan menjemput Bia di rumahnya.
Setelah selesai berpakaian, Bia keluar. Mengintip sedikit melihat Angkasa yang mengobrol dengan santai bersama Axel, sepertinya mereka memang sudah saling kenal. Axel bahkan bicara banyak hal dan sesekali tertawa memperlihatkan giginya, sangat berbeda dengan apa yang dikatakan Kiki dan Enjel.
"Ngapain lo ngintip segala?" Angkasa menyadari keberadaan Bia, karena memang dia yang duduk tidak jauh dari pintu tempat Bia mencondongkan sedikit kepalanya. "Hehehe," Bia hanya tertawa canggung kemudian keluar memperlihatkan seluruh tubuhnya.
"Mau kemana lo," ucap Angkasa, seingatnya dia memang akan mengajak Bia untuk menemaninya ke suatu tempat, tapi sepertinya Angkasa belum mengatakan pada Bia.
"Mau jalan Sam kak Axel," jawab Bia, sedangkan Angkasa langsung menoleh pada Axel. "Sudah pamit sama mama?" Tanya Angkasa, dan Bia mengangguk mengiyakan. "Jangan pulang malam, kalau ada apa-apa hubungi gue," ucap Angkasa, Bia kembali mengangguk dan mengataakan siap pada Angkasa.
"Ayo kak," ucap Bia mengajak Axel yang masih asik duduk. "Ah iya," ucap Axel kemudian bersalaman pada Angkasa layaknya sahabat. "Hati-hati bawa mobil," ucap Angkasa saat dua orang itu sudah masuk ke dalam mobil.
Dan di sinilah sekarang mereka berada, di depan sebuah toko buku yang juga merupakan perpustakaan yang tidak terlalu besar dan terlihat masih sepi, mungkin karena masih pagi. Atau, toko buku ini memang tidak memiliki banyak pengunjung? Axel keluar dari mobilnya diikuti Bia, melihat benda yang melingkar di tangannya. "Sembilan lima belas," gumam Axel.
"Kita ke cafe sebelah dulu, kamu gak sempat sarapan kan?" Ucap Axel membuat Bia hanya mengangguk mengiyakan, dia memang tidak sempat makan roti bakar buatannya.
Mereka kemudian berjalan beriringan, Axel menggandeng tangan Bia saat akan menyebrang jalan menuju cafe seberang yang sepertinya belum banyak pengunjung, hanya ada beberapa orang.
"Mau pesan apa?" Tanya Axel menoleh pada Bia yang sedari tadi hanya diam. Bukan apa yang membuat Bia diam, dia merasa gugup. Sedari tadi Axel menggenggam tangannya dan belum juga melepaskannya, tangannya bahkan sudah terasa basa karena keringat.
"Gak tau," Bia bingung mau pesan apa, sedangkan Axel hanya tersenyum melihat Bia yang sedari tadi melirik ke arah tangan mereka yang saling bertautan. "Roti bakar coklat dua sama minumannya hot coklat dua," ucap Axel kemudian menarik Bia untuk duduk.
"Kenapa?" Tanya Axel, sedari tadi Bia tidak menatapnya sedikitpun. Sedangkan Bia malah sibuk menggerakkan tangannya di bawah meja, tangan yang tadi di genggam erat oleh Axel. "Gak apa-apa," ucap Bia yang sebenarnya masih sangat canggung kalau hanya berdua seperti saat ini, Bia tidak tau bagaimana cara memulai percakapan.
"Kamu masih suka semua hal yang ada coklatnya kan?" Tanya Axel memastikan, takut kalau ternyata Bia sudah beralih selera dan Axel sudah terlanjur memesan makanan dan minuman yang ada coklat.
"Iya, coklat selalu enak" ucap Bia, segala sesuatu yang berhubungan dengan coklat maka Bia akan menyukainya. Mendengar itu Axel tersenyum, Bia tidak banyak berubah.
Tidak lama mereka menunggu, pesanan mereka sudah datang. Mereka menghabiskan sarapan mereka sebelum berpindah ke toko buku. Tidak banyak yang percakapan yang terjadi diantara mereka, Axel yang pada dasarnya memang memiliki sikap cuek begitupun dengan Bia yang bahkan sama sekali tidak tahu banyak hal tentang cara berinteraksi dengan seseorang.
"Lebih menyenangkan nonton drama di dalam kamar, huftt" Bia hanya bisa berbicara dalam batinnya, tidak mungkin dia mengatakan itu pada Axel yang sedari tadi sibuk membaca buku. Dua tumpuk buku sudah ada di atas meja, tiga diantaranya sudah di baca oleh Axel. Kalian mungkin sudah bisa menebak, sudah berapa lama mereka ada di dalam toko buku ini.
•••••
Kalau kalian jadi Bia, apa yang akan kalian lakukan?
Jangan lupa tinggalkan jejak 🐈
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare ~17
Teen FictionTentang mimpi buruk yang tiba-tiba datang dalam hidup Bintang, menghadirkan segenap cerita yang pernah diimpikannya yang secara tidak kasat mata juga menghabisinya secara perlahan-lahan. "Aku lelah! Biarkan aku beristirahat, sejenak? Atau selamanya...