Chapter 21

4 3 0
                                    

Zulmat yang menghantarkan keheningan, diantara ribuan awan gelap yang menangis meraung-raung, tentang bumi yang tidak lagi indah, tentang rumput yang tertimpung di bawah tanah, tentang pohon yang berbaring terlentang, tentang air yang menghanyutkan tanpa mengenal apa dan siapa. Apakah bumi sudah sangat kotor sehingga harus dibersihkan? Apakah seisi bumi bisa dibersihkan hanya dengan butiran-butiran air?

Apakah manusia begitu fahsya untuk sekedar menginjakan kaki di atas permata hijau yang dikelilingi lautan biru? Bukan tentang manusianya, tapi tentang apa yang ada dalam dirinya, akal pikiran dan perbuatannya. Bukankah manusia itu unik dengan pikirannya yang sulit ditebak?

Pikiran yang tiba-tiba berkelana diiringi elegi yang mendayu-dayu, menyesakkan dada jika benar-benar mendalami makna dibaliknya. Seorang perempuan dengan rambut sebahu, duduk bersila di atas sebuah kursi kayu. Dia belum sedikit pun memejamkan mata hingga perlahan fajar mulai menyapa. Merasa gundah akan ilustrasi yang ada di atas sebuah kanvas. Abstrak jika dilihat oleh orang awam, sesuatu yang tersembunyi di baliknya tanpa diketahui siapa pun.

Flashback

Di sebuah taman, terdapat dua orang anak-anak. Laki-laki dan perempuan yang duduk di atas sebuah batu gepeng yang sudah diwarnai sebagai salah satu hiasan taman. Tangan mereka saling menggenggam hingga genggaman tangan itu terlepas setelah seorang anak laki-laki mendekati mereka dengan membawa bola basket mainan untuk anak-anak yang dia peluk di depan dadanya.

"Angkasa, Bintang, ayo main," teriak anak laki-laki itu sembari memantulkan bola basket mainan tersebut ke lantai yang kemudian ditangkapnya kembali.

"Kau bahkan hanya jadi penonton, hanya aku dan Aka yang bermain," ucap gadis yang disapa Bintang dengan rambut ikalnya yang pendek.

"Tau tuh, mungkin lebih baik kalau kalian bertukar biar Bia yang jadi laki-laki dan kau yang jadi perempuan. Hahaha sepertinya itu akan tampak lucu jika benar terjadi, aku jadi mengharapkannya," disela-sela tawanya, Angkasa yang lebih sering disapa Aka maju lalu mengambil alih bola basket yang ada di tangan anak laki-laki tersebut.

"Tidak usah menertawakan ku Aka, aku yang menghitung skornya jadi aku juga sudah ikut andil. Aku hanya tidak mau berpanas-panasan karena nanti bunda ku akan marah," ungkap anak laki-laki tersebut membela diri.

"Baiklah terserah pada mu Gavin, anak Bunda Ririn," masih mengejek sembari melakukan pemanasan dengan berlari-lari kecil dan sesekali memantulkan bola ke lantai.

"Berhenti mengejek ku Aka, aku hanya tidak ingin membuat bunda ku sedih karena aku jadi anak yang tidak menurut pada orang tua," ucap Gavin yang mulai jengah dengan Angkasa yang selalu mengejeknya.

"Ikutlah bermain Gavin biar Aka berhenti mengejek mu," ucap Bia yang masih asik duduk dan memperhatikan lututnya yang tampak memerah.
"Aka! lutut ku juga sakit,"

"Lutut mu juga luka? Aku kira hanya bagian tangan saja yang luka jadi aku tidak memeriksa bagian lutut," ucap Angkasa menghampiri Bia, meninggalkan bola tergeletak di lantai tidak jauh dari mereka bertiga.

"Apa yang terjadi pada Bintang?" Tanya Gavin yang tidak tau apa-apa, yang dia lihat saat sampai di sini hanya Angkasa yang menggenggam tangan Bia dan sesekali mengusapnya.

"Tadi Bia jatuh saat bermain bola dengan anak-anak yang lain," ucap Angkasa mengigat saat Bia bermain bola dengan beberapa anak laki-laki sebelum mereka semua pergi karena Angkasa yang marah saat melihat Bia jatuh dan menangis.

"Makanya bersikaplah seperti perempuan Bintang, kau terlalu laki-laki untuk seorang perempuan," ujar Gavin memperhatikan Bia yang selalu bermain dengan laki-laki dan permainan yang umumnya dimainkan anak laki-laki, Bia bahkan lebih sering berpakaian layaknya anak laki-laki.

"Memangnya kau tidak takut nanti berotot, pasti orang-orang akan mengira kalau kau laki-laki dan tidak ada laki-laki yang akan menyukaimu," lanjut Gavin yang masih mengoceh tentang Bia yang cenderung ke arah tomboi dibandingkan anak perempuan lain yang pernah ditemuinya.

"Tapi orang yang berotot itu kereng tau," ucap Bia menatap Angkasa dan Gavin secara bergantian seolah minta persetujuan.

"Benar," dua orang yang ditatap secara bergantian mengangguk dan menjawab secara bersamaan.

"Aku menyukai orang yang suka berolahraga dan berotot"

Flashback Off

Sebuah senyuman merekah dibalik bibirnya. Bia, gadis itu menyentuh kanvas yang ada di hadapannya. Tekstur kasar yang diciptakan cat warna menyapa permukaan kulitnya yang dingin. Saat itu mereka masih kecil, sepertinya menyenangkan jika bisa kembali mendengar Angkasa berbicara dengan menggunakan aku-kamu.

"Gavin..." Sendu, suara yang lembut itu keluar dengan menampilkan gurat wajah yang berbeda. Seolah melarang Bia memutar kembali ingatannya, handphone yang dia letakkan di atas meja tiba-tiba berdering.

"Angkasa?" Kening Bia sedikit berkerut, ada apa? Mengapa Angkasa menelponnya pagi-pagi buta? Sekarang jam baru akan sampai pada angka lima, masih sangat pagi, gelapnya malam masih menyelimuti meskipun perlahan terlihat cahaya merah merekah di ufuk timur.

"Halo?" Sapa Bia saat panggilan itu terhubung. Tidak terdengar suara jawaban dari sang penelpon membuat Bia menatap layar hpnya yang menjadi sumber cahaya kedua yang ada di dalam kamar, di atas meja terdapat lilin aromaterapi yang menyala. Cahayanya cukup untuk memperlihatkan sebuah warna-warni yang ada di atas kanvas.

"Hoamm," Sepertinya Angkasa baru bangun dari tidur nyenyaknya, "Lo udah bangun ternyata, kirain masih molor," suara serak khas orang baru bangun tidur menyapa gendang telinga Bia.

"Ada apa? Kenapa telpon pagi-pagi?" Melemparkan pertanyaan pada Angkasa yang sangat jarang menelponnya.

"Galak banget sih Bibia, ucapin selamat pagi kek," Entah apa yang dilakukan Angkasa diseberang sana, dan apa yang ada dipikirannya hingga dia menelpon Bia? Harusnya dia menelpon pacarnya untuk mengucapkan selamat pagi.

"Kalau gak ada yang penting gue matiin nih," Ancam Bia membuat telinganya lagi-lagi menangkap suara kekehan dibalik telpon.

"Oke, jadi gue cuma mau bilang kalau hari ini gue jemput lo lebih cepat dari biasanya karena gue juga harus jemput Enjel setelah anterin lo ke sekolah. Jadi buruan siap-siap," ucap Angkasa.

"Gak usah jemput gue Aka. Lo bakal kewalahan, biar gue berangkat bareng mama atau gue bisa naik angkot kok," ucap Bia merasa tidak enak pada Angkasa, meskipun mereka sudah bersama-sama dari kecil tapi kita juga harus tau batasan kan.

"Gak terima penolakan, udah buruan lo pergi mandi terus siap-siap. Kasih tau mama gue bakalan sarapan di situ," Tanpa menunggu jawaban dari Bia, Angkasa mematikan teleponnya secara sepihak.

Bia menatap layar hpnya, di sana tertara nama lengkap Angkasa. Mengapa Angkasa sangat keras kepala, padahal Bia melarang untuk menjemputnya agar Angkasa tidak terlalu capek bolak-balik menjemputnya juga Enjel. Lagi, menghela napas kemudian merapatkan tubuhnya pada sandaran kursi. Memejamkan mata sejenak.

"Aku akan melindungi mu selalu, Apapun yang terjadi aku akan tetap berdiri di samping mu, menggenggam erat tangan mu dan tidak akan pernah melepasnya." Membuka mata saat tiba-tiba terlintas diingatkannya, tentang kata-kata yang diucapkan seorang anak laki-laki yang menggenggam erat tangannya saat dia berada dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar.

•••
Selamat Membaca, semoga kalian suka ceritanya 🐈

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen 😻
See you chapter selanjutnya 😽

Saat menulis bagian awal, aku sedang kepikiran sama saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana. Ada banyak banjir, longsor, dan pohon-pohon yang tumbang.
Semoga tidak banyak korban jiwa dan semuanya bisa kembali seperti dulu, bumi dan seisinya yang dalam keadaan sehat untuk saling menguntungkan satu sama lain.

Nightmare ~17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang