Arunika yang menyinari asmaraloka, sepasang manusia yang berdebat dengan seorang penonton yang menyaksikan. Detik dan menit berganti, tapi belum ada putusan yang menetralkan kedua bela pihak.
Menghela napas, dipaksa memilih satu diantara banyak pilihan. "Aka, gue sudah bilang kan, gak usah jemput gue," menjeda kosa kata yang belum sepenuhnya keluar.
"Lo bakalan kewalahan kalau harus jemput gue dulu lalu pergi lagi buat jemput Enjel. Gue bisa berangkat bareng mama, sekarang kan mama sudah ada di rumah, gue juga bisa kok naik angkot kalau gak bareng mama," ujar Bia diiringi helaan napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri agar tidak mengamuk pada Angkasa. Padahal Bia melarang Angkasa untuk menjemputnya lagi seperti sebelumnya demi kebaikan Angkasa juga kan.
"Bibia, gue kan udah bilang. Hubungan gue sama Enjel gak akan membuat gue berubah dan ngelupain lo. Gue tetep akan jadi Angkasa yang lo kenal, gue yang akan tetap antar jemput lo kemanapun," Angkasa tetap dengan pendiriannya, tidak peduli akan penolakan Bia.
"Aka, Bintang bareng aku. Lagian kamu sudah punya pacar kan? Enjel. Setidaknya hargai perasaan Enjel dengan tidak terlalu dekat dengan perempuan lain, termasuk Bintang. Meskipun Bintang sepupu kamu, tapi rasa cemburu kadang tidak melihat tempat," karena asik berdebat, mereka sampai lupa salah satu keberadaan mahluk Tuhan yang ada di antara mereka.
"Juga, kamu kan sudah punya Enjel. Sekarang Bintang boleh kan jadi milik aku!" Bukan merujuk pada pertanyaan tapi pernyataan akan sebuah ketegasan yang dirangkai seolah menjadi sebuah pertanyaan tanpa sebuah jawaban.
Rahang yang mengeras dengan tatapan tajam, dua tangannya mengepal. Tapi benar, ini adalah pilihannya. Pilihan yang sudah dipikirkan berulang kali sebelum benar-benar menetapkan. Jadi, kenapa harus marah? Ayolah Angkasa, lo terlalu bren*sek kalau tidak ingin Bia bersama yang lain sedangkan lo sudah punya Enjel.
"Aku akan berangkat bareng kak Axel," Bia memutuskan sepihak tanpa menunggu lagi untuk negosiasi dengan Angkasa yang hanya diam. "Oke, hati-hati dijalan. Gue duluan," Angkasa meninggalkan Bia dengan Axel, melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Membela jalan raya yang padat dengan kendaraan.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Begitupun dengan Angkasa, sepandai-pandainya menyalip kesana-kemari akhirnya kuda besinya terjebak juga. "Si*lan! Ban*sat!!!" Umpatnya ketika sudah benar-benar tidak memiliki cela untuk melajukan kuda besinya.
Merogoh saku celananya, mengambil sebuah benda pipih dan menghubungi seseorang. "Ke tempat biasa," hanya itu, setelahnya menutup handphone dan menyimpannya kembali ke saku celana. Telinganya sudah berdengung mendengar suara klakson kendaraan di belakangnya saat dia masih belum melajukan kendaraannya sedangkan kendaraan yang di depan sudah maju.
Wahai manusia yang budiman nan minim akhlak, tidak bisa ka kalian bersabar. Kalian membunyikan klakson seolah macet akan segera berhenti setelah itu. Jangan harap, yang ada malah suara klakson itu membuat berisik dan memancing emosi.
Saat sudah bisa putar balik, Angkasa memilih berbelok dan melawan arus dengan melajukan kuda besinya dengan tarikan penuh. Memilih melewati jalan yang berlawanan dengan jalur menuju sekolah, karena dirinya sedang tidak tertarik untuk ke sekolah maka tentu saja tujuannya ke tempat lain.
Sedangkan dilain tempat, sepasang anak manusia baru saja turun dari kereta putih yang ditempatkan di parkiran khusus. Mereka sudah di sambut oleh dua orang manusia yang berbeda usia.
"Axel, sekarang kamu ke ruangan kepala sekolah," lihatlah bagaimana wajah yang tadi sangat masam dengan aura gelap tiba-tiba tersenyum cerah mengalahkan sinar mentari.
"Maaf sebelumnya ibu, ada apa ya?" Tanya Axel memastikan, untuk apa dia ke ruangan kepala sekolah. "Ada beberapa hal yang akan dibahas mengenai Olimpiade Sains," jawab sang guru, dua tangannya ada di belakang tubuhnya. Memegang sebuah kayu pipih yang panjang, ditepuktepukkan pada bagian belakangnya.
"Baik ibu, kalau begitu saya permisi," Pamit Axel menarik Bia untuk pergi tapi kembali ditahan membuat mereka berhenti. "Kamu terlambat, jadi ikut sama Gavin untuk menerima hukuman,"
"Tapi saya juga terlambat Bu," ucap Axel protes. "Sudah, Axel ikut ibu ke ruangan kepala sekolah, dan Gavin urus dia jangan biarkan masuk kelas sebelum menyelesaikan hukumannya, lari keliling lapangan sepuluh putaran." Sudah tidak bisa dibantah. Axel jadi merasa tidak enak meninggalkan Bia yang harus dihukum sendirian, padahal mereka sama-sama terlambat.
Axel hanya berbalik dan mengucapkan kata maaf pada Bia kemudian berjalan semakin menjauh meninggalkan Bia dan Gavin yang juga sudah berjalan menuju lapangan sekolah. "Cuma lari sepuluh putaran kan," ujar Bia meletakkan tasnya di pinggir lapangan, meletakkannya di atas rumput hias yang sengaja ditanam.
"Hacciuw," Bia bersin sebanyak tiga kali, hidungnya terasa geli dan tersumbat, ada rasa tidak nyaman di tenggorokannya, kaepalanya juga sedikit sakit hingga air matanya keluar. Tidak, Bia tidak menangis, Air matanya keluar sendiri. Bia sudah merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sejak tadi pagi sewaktu masih di rumah.
"Bia, lo kenapa?" Gavin menarik tangan Bia yang hendak berlari. Gavin memeriksa tangan Bia yang terdapat banyak bercak merah, melihat mata Bia yang tampak merah dan mengeluarkan air mata, bibirnya juga terlihat merah dan sedikit bengkak.
"Lo habis makan kacang almond?" Tanya Gavin panik, di memegang wajah Bia dan melihatnya dengan baik. Lalu beralih pada bagian tangannya yang tampak banyak bercak merah yang tercetak jelas.
"Hah," Bia tampak berpikir, hingga dia mengingat sesuatu. "Iya, gak sengaja. Gue lupa," ucap Bia santai, berbeda dengan Gavin yang sudah panik sendiri.
Semalaman Bia tidak bisa tidur sehingga dia memutuskan untuk melakukan sesuatu, mengambil kanvas dan cat warna. Kegiatan yang sudah lama tidak dilakukannya kembali dia lakukan, saat itu Bia membubuhkan cat warna di atas kanvas diterangi lilin aromaterapi dengan sekotak coklat yang ada di atas meja. Bia bahkan menghabiskan separuh coklat yang ada di dalam kotak itu.
"Lo gila, kenapa bisa lupa. Ikut gue ke UKS," Gavin sudah menarik Bia untuk mengikutinya tapi Bia menggunakan segenap tenaganya untuk bertahan di tempatnya berdiri.
"Gue harus jalanin hukuman Vin, gue minta tolong dong beliin obat yang biasa," ujar Bia. Gavin memejamkan matanya mendengar penuturan Bia, dasar perempuan keras kepala. Padahal lagi sakit juga.
"Biar gue yang lari, Lo tunggu di sini jangan kemana-mana. Setelah itu kita beli obat," ujar Gavin lalu segera berlari, menggantikan Bia menjalankan hukumannya.
Bia akhirnya duduk di atas rumput di sebelah tasnya yang tergeletak, Bia juga sedang tidak memiliki banyak tenaga untuk berlari. Bia melihat tangannya, baru kali ini Bia tidak merasa gatal. Tapi sangat jelas, bahwa bercak merah itu ada di tangannya meskipun tidak gatal.
Bia beberapa kali memejamkan mata saat dirasa kepalanya berdenyut, beberapa kali harus mengirup udara dan menghembuskan nya melalui mulut, hidungnya benar-benar tersumbat. Bia juga merasa mual tapi tidak benar-benar ingin muntah.
"Capek," Deru napas yang memburu terdengar jelas di samping Bia. Gavin duduk dengan meluruskan kakinya, membuka beberapa kancing bajunya. Keringat terlihat membanjiri tubuhnya setalah berlari mengelilingi lapangan.
Tiba-tiba Gavin menoleh disela-sela rasa lelah, panas, dan haus yang melandanya. Bia yang memejamkan mata menyandarkan kepalanya di bahu Gavin. "Bia, Lo gak pingsan kan?" Tanya Gavin memastikan, dia menyentuh wajah Bia. Ingin segera membawa Bia ke UKS tapi Gavin juga manusia biasa yang butuh istirahat untuk memulihkan tenaganya setelah berlari tanpa jeda.
Bia menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Gavin. Membuka matanya, melihat langsung dua bola mata Gavin yang juga menatapnya. "Vin, gue boleh menyerah aja gak sih? Gue ingin pergi sejauh mungkin, sampai tidak seorang pun yang bisa nemuin gue."
•••
Haiii
Aku balik lagi Bestai🐈Gimana chapter ini? Komen dong😸
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen 😻See you chapter selanjutnya 😽
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare ~17
Teen FictionTentang mimpi buruk yang tiba-tiba datang dalam hidup Bintang, menghadirkan segenap cerita yang pernah diimpikannya yang secara tidak kasat mata juga menghabisinya secara perlahan-lahan. "Aku lelah! Biarkan aku beristirahat, sejenak? Atau selamanya...