Suara kicauan burung terdengar merdu di pagi hari ini. Matahari yang perlahan naik mengusik seorang gadis yang sedang memejamkan matanya. Tubuhnya yang ditutupi sebuah jaket tidak lagi terasa dingin, sehingga tangannya bergerak perlahan untuk menyingkirkan jaket itu dari atas tubuhnya yang sedang duduk bersandar di sebuah sofa yang tidak layak pakai.
Dia membuka matanya, hal pertama yang dilihatnya adalah langit yang ditutupi banyak awan. Tadi, saat dia sampai di sini, suasana masih gelap. Sepertinya dia tidur cukup lama, melihat jam yang sekarang menunjukkan pukul enam lewat dua puluh menit.
Gadis itu, Bintang Glora Ols atau Bia. Sudah dua hari ini dia selalu datang ke sekolah saat masih gelap gulita. Menumpang pada mobil pick up yang pemiliknya merupakan pemegang kunci sekolah dan istrinya merupakan penjual makanan di kantin sekolah. Mereka selalu berangkat subuh ke sekolah, kebetulan mereka melewati rumah Bia.
Saat sudah sampai di sekolah, Bia akan berada di rooftop untuk tidur sejenak. Dia tinggal sendirian di rumahnya, ibunya belum kembali. Dan saat sendiri di rumahnya, Bia tidak bisa tidur meskipun sudah memaksa untuk memejamkan matanya. Tapi di sini, Bia bisa memejamkan matanya dengan nyaman meskipun berada di tempat terbuka.
"Astaga, Bang*sat!" seseorang yang baru saja masuk dari pintu mengumpat karena kaget, tidak menyangka akan ada orang yang menempati rooftop di saat masih sangat pagi.
Sedangkan Bia hanya menoleh, meskipun dia juga kaget tapi tidak terlihat jelas diwajahnya. Di sana, di dekat pintu. Seorang laki-laki berdiri dengan sebatang rokok yang terselip diantara jari tengah dan jari telunjuknya. Tangan kanannya memegang sebuah korek api.
"Lo ngerokok?" Tanya Bia. Sebenarnya hal itu tidak mengherankan, mengingat zaman sekarang. Terkadang seseorang menjadikan rokok sebagai pelarian untuk menenangkan pikiran yang kacau, atau mungkin hanya untuk bersenang-senang, tidak ada yang tahu soal itu kecuali mereka yang menggunakannya.
"Ehem," Sosok laki-laki itu menyimpan rokok dan koreknya, berjalan mendekati Bia. Sepertinya dia merasa canggung, mereka sempat menjadi seseorang yang sulit dipisahkan hingga sekarang mereka tampak canggung jika hanya berdua.
"Kalau mau ngerokok gak apa-apa, gue gak masalah kok," ucap Bia. Tapi, laki-laki itu sepertinya sudah tidak tertarik lagi. Dia memilih duduk di dekat Bia. Mereka hanya duduk dan diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Lo, ngapain di sini pagi-pagi?" Bia menoleh menatap orang yang duduk di dekatnya, sosok laki-laki yang sudah berbeda sejak satu tahun yang lalu. Gavin Putra Mahendra, orang yang pernah sangat dekat dengannya.
"Vin, menurut Lo kenapa semua orang bisa berubah secepat itu?" Bia tidak menjawab pertanyaan Gavin tapi balik mengajukan pertanyaan. Bia menatap lurus ke depan, bayangan sosok yang dijadikan pelindung seperti ayah dan kakak laki-laki yang perlahan menghilang. Bayangkan sosok kakak perempuan yang selalu jadi penasehat perlahan buram.
"Berubah jadi apa? Superman? Batman? Atau Ironman?" Gavin berniat mengeluarkan candaan, tapi sepertinya Bia tidak sedang tertarik. "Lo gak diapa-apain kan sama Mariska waktu Axel posting foto Lo?" Tanya Gavin hanya ingin memastikan. Bia menggeleng sebagai jawaban.
"Lo ternyata sukanya sama cowok yang kayak kulkas seribu bayangan ya," ucap Gavin sedikit tertawa. Bia hanya menoleh pada Gavin dengan wajah datarnya membuat Gavin diam.
"Orang berubah itu bukan masalah besar, itu bisa dikatakan sudah sifat alami manusia. Mungkin dia merasa tidak nyaman dengan hal itu atau bisa jadi dia hanya kecewa akan suatu hal," Gavin mulai serius, mengikuti arah pandang Bia yang menatap lurus ke depan.
"Saat seseorang merasa kecewa, terluka atas keputusan seseorang. Nalurinya akan bertidak untuk berubah, seperti menjauh misalnya, agar rasa kecewa dan luka itu tidak menyayat hatinya terlalu dalam," Bia menatap Gavin yang juga menatapnya. Ada hal yang membuat Bia tidak nyaman saat Gavin menatapnya seperti itu.
Bia lebih dulu mengalihkan pandangannya, melihat ke arah jaket yang ada di sebelahnya. "Vin, ini jaket Lo. Makasih yah, gue duluan," ucap Bia kemudian pergi dari sana meninggalkan Gavin yang menatapnya menjauh.
Saat sudah mau turun ke lantai dua, Bia harus berhenti lagi karena ditahan oleh kakak kelasnya yang cantik itu. Mariska dan tiga orang temannya, dua diantaranya menggandeng Bia ke arah kantin. Bia sudah menolak dan memberontak tapi kekuatan dua orang yang memegangnya lebih kuat.
"Diam adik cantik, kita itu mau ngajak kamu makan enak tau," ucap perempuan yang mengapit tangan kanannya. Bia berhenti bergerak, berusaha untuk tidak meninggalkan tempatnya meskipun sudah ditarik keras oleh dua orang yang memegang tangannya.
"Kak Mariska, kalau mau sesuatu bilang aja. Saya gak punya banyak waktu," ucap Bia menatap sosok kakak Kelasnya itu, Bia sudah bisa menebak kalau Mariska pasti ingin mengatakan sesuatu pada Bia.
"Yakin? Lo harus benar-benar lakuin apa yang gue mau tapi," ucap Mariska mendekati Bia yang berani menatapnya, tidak seperti adik kelasnya yang lain saat dia tindas oleh Mariska.
"Bilang aja dulu, nanti gue pertimbangkan," ucap Bia yang tidak lagi menggunakan kata saya. "Lepas, miris banget kelakuan kakak kelas yang jadi figur siswa yang katanya patut dicontoh."
Mereka memang merupakan para siswi yang terkenal karena prestasinya juga karena kecantikannya, ingat bahwa kecantikan selalu ada di atas segalanya. Dan Bia baru menyadari, sosok siswi yang sedari tadi hanya diam, ternyata dia yang ada di UKS bersama Bia waktu itu. Saat pandangan mata mereka bertemu, dia tersenyum pada Bia, senyuman yang tampak tulus.
"Putusin Axel, dan menjauh dari dia sebelum gue bikin perhitungan sama Lo. Ingat, sampai kapanpun Axel hanya akan jatuh ke tangan gue," ucap Mariska menatap tajam pada Bia.
Bia tertawa, tidak kencang tapi dapat membuat Mariska geram karena merasa diejek. "Kak Mariska baru saja mengatakan kalau kak Axel adalah milik kakak, tapi dilain sisi kak Mariska juga mengakui kalau dia milik saya sehingga saya harus putus dengan dia dan menjauh. Saya akan mempertimbangkannya, kak Mariska," ucap Bia kemudian menjauh dari sana. Meninggalkan Mariska dan dua temannya yang tampak geram, sedangkan yang satu orang itu hanya tersenyum melihat Bia yang sudah berjalan menuruni tangga.
"Kiki," tegur Bia menghalangi Kiki yang berjalan dari arah kelas mereka. "Ki, kita bisa bicara sebentar," tanya Bia berusaha menahan Kiki dengan memegang tangannya.
"Gue gak punya waktu, minggir!" Ucap Kiki menghempaskan tangan Bia kemudian sedikit mendorongnya agar tidak menghalangi jalannya. Kiki meninggalkan Bia yang hanya bisa diam.
Bia duduk di tangga, memejamkan matanya sejenak. Belum banyak siswa yang datang, jadi tidak ada yang melihat dia dan Kiki. Bia sebenarnya bingung dengan perubahan Kiki yang tiba-tiba, apa ini ada hubungannya juga dengan postingan Axel?
"Bia, Kiki mau kemana? Kenapa Kiki buru-buru sampai Enjel ajak bicara tapi tidak menyahut," ucap Enjel saat mendapati Bia yang duduk melamun di tangga yang menghubungkan lantai dua dengan lantai tiga.
•••••
Selamat Membaca 😽
Semoga kalian suka ceritanya 🐈
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen 😻
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare ~17
Teen FictionTentang mimpi buruk yang tiba-tiba datang dalam hidup Bintang, menghadirkan segenap cerita yang pernah diimpikannya yang secara tidak kasat mata juga menghabisinya secara perlahan-lahan. "Aku lelah! Biarkan aku beristirahat, sejenak? Atau selamanya...