Chapter 16

27 15 17
                                    

"Seperti bulan yang perlahan tergantikan oleh matahari, yang menyingsing dengan rona merah menyalanya di ufuk timur. Aku ingin sepertinya, memantulkan cahaya meskipun ada di bawah, dan menjadi terang mana kala kembali naik," Mata yang baru saja terbuka memandang jauh di ujung sana, fajar menyingsing. Terlihat jelas karena hanya tertutupi gorden yang tipis.

"Apa gue jadi penulis puisi aja yah?" Bia mengalihkan pandangannya, melihat langit-langit kamarnya tampak berpikir. Merasa kagum dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya, tapi sayangnya baru beberapa detik dia sendiri sudah lupa.

"Dahlah," Bia tidak bisa menyusun kembali kata-kata nya yang tadi, memilih segera bangkit dari kasurnya yang empuk. Hari ini Senin, artinya Bia harus siap-siap lagi berpanas-panasan bersama teman-teman yang lainnya di lapangan. Ini mau sekolah atau mau cosplay jadi ikan kering? Perasaan sekolah biar pinter, terus hubungannya sama upacara apaan coba.

Setelah siap, lengkap dengan seragam sekolahnya. Bia menyambar tasnya, memeriksa bukunya yang baru dia ganti. Bukannya sombong, tapi Bia nyaris tidak pernah menyentuh bukunya jika tidak ada tugas sekolah. Jadi, buku pelajarannya baru terganti saat sudah akan berangkat sekolah.

Saat berjalan ke meja makan untuk sarapan, Bia sudah melihat seorang laki-laki di sana. Laki-laki dengan baju kaos hitam dan celana abu-abunya. "Selamat pagi, Aka. Lo lagi ngapain?" Bia berucap dengan senyuman cerianya, mengambil ayam goreng yang ada di piring Angkasa.

"Gue lagi berak, balikin ayam gue," ucap Angkasa. Di dalam mulutnya masih banyak nasi yang belum dikunyah sehingga beberapa bulir terhambur keluar saat dia bicara.

"Aka, jorok ih," Teriak Bia saat melihat beberapa bulir nasi itu menempel di lengannya. Angkasa tidak peduli, yang penting ayamnya kembali dan dia melanjutkan proses pengisian ulang pada perutnya.

"Bia, udah duduk sarapan," ucap perempuan paruh baya yang juga sudah siap dengan pakaian kerjanya. Memberikan piring yang berisi roti panggang pada Bia, sedangkan dia sendiri sarapan dengan nasi bersama dengan Angkasa.

"Sok-sokan banget lo gak mau sarapan pakai nasi, giliran di kantin aja belinya nasi goreng seafood," Ucap Angkasa, meskipun mereka sudah bersama dari kecil sampai sudah saling mengenal kebiasaan buruk masing-masing, tetap saja ada hal-hal kecil yang kadang di komentari oleh Angkasa.

Sedangkan Bia memilih tidak meladeni Angkasa, menikmati sarapannya untuk mengganjal perut. "Mama udah mau masuk kerja? Gak mau istirahat dulu, padahal mama baru sampai tadi malam loh," ucap Bia saat baru menyadari pakaian yang digunakan sang Mama.

"Iya sayang, mama cutinya hanya tiga hari. Seharusnya mama sudah masuk dari beberapa hari yang lalu," ucap sang Mama membuat Angkasa yang sedang asik menikmati makanannya langsung mendongak. "Bukannya mama bilang keluar kota karena ada urusan kerja? Kok ambil cuti," tanya Angkasa, dia benar-benar penasaran tentang apa yang sebenarnya.

"Kan mama keluar kotanya bukan atas rekomendasi dari tempat kerjanya," ucap Bia. Dia menunduk melihat roti bakar yang ada di tangannya, rasanya sudah tidak nafsu lagi memakannya.

"Aka, cepetan makannya nanti kita telat," ucap Bia kemudian berdiri, mengambil selembar roti panggang lagi yang masih ada di atas piring. Berjalan keluar sambil memakan rotinya.

Bia menghabiskan dua roti panggang di teras rumahnya kemudian memakai sepatu. Begitupun Angkasa yang sudah selesai. "Bia, ini ada titipan dari kakak kamu," Bia menerima kotak itu, berusaha keras agar tangannya tidak terlihat gemetar. "Makasih mah," ucap Bia Pelan, memegang erat kotak itu agar tidak jatuh.

"Bia, Lo berangkat bareng gue?" Tanya Angkasa membuat Bia menoleh, "Iyalah, bareng siapa lagi," Baru saja Bia menyelesaikan kata-katanya, seorang laki-laki yang menggunakan seragam yang sama dengannya mendekat. Memberi salam pada Mama Bia kemudian menyerahkan sebuah paper bag yang entah apa isinya.

"Kak Axel?" Gumam Bia saat melihat dengan jelas sosok laki-laki yang sekarang berdiri di sampingnya. Dia hanya melempar senyuman, senyuman yang sepertinya bukan ditujukan untuk Bia tapi untuk orang yang sedang duduk di atas motornya.

"Aka, Bia bareng gue," ucap Axel membuat Angkasa mengangguk, "Hm, gue duluan. Yang bener Lo bawa mobilnya, kalau ada apa-apa sama Bia gue cincang lo," Ucap Angkasa yang tampak bercanda sebelum melakukan motornya menjauh.

Bia dan Axel kemudian berangkat bersama ke sekolah dengan menggunakan mobil Axel. Memang sudah banyak siswa kelas dua belas yang mengendarai mobil ke sekolah, mungkin karena mereka sudah memiliki surat izin mengemudi.

Di dalam mobil, Bia sedang berusaha menyusun kata-kata di kepalanya. Sedangkan Axel juga hanya diam, mungkin juga sedang menyusun kata-kata di kepalanya.

"Kak Axel," orang yang di sebut namanya hanya menoleh sebentar, kemudian kembali melihat ke depan. "Kenapa?" Tanyanya.

"Aku sebenarnya gak tahu hubungan kita ini seperti apa, tapi aku mau kita kembali seperti dulu kak. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal, lupakan kata-kata aku yang pernah mengajak kak Axel buat jadi pacar aku," ucap Bia berusaha tetap tenang.

Axel menepikan mobilnya, sepertinya diantara mereka harus ada yang dibicarakan dengan serius. Saat melihat Bia, Axel mengernyit. "Kamu habis jatuh?" Tanya Axel saat melihat bekas luka yang ada di kening Bia.

"Hanya luka kecil," ucap Bia memegang bekas lukanya. Luka di tangan dan sikunya sudah lebih baik.

"Kak Axel, mungkin kita sampai sini aja kak. Sejak awal ini hanya sebuah permainan, tidak ada maksud serius jadi mari meluruskan segalanya. Aku juga minta sama kak Axel agar foto aku di postingan Instagram kak Axel dihapus biar gak ada lagi yang salah paham tentang kita," ucap Bia.

"Ada yang ganggu kamu? Mariska ganggu kamu dan bilang yang tidak-tidak? Atau, bekas luka itu, kamu dibully di sekolah? Bilang sama aku Bia," ucap Axel dengan sangat lembut berusaha meraih tangan Bia. Tapi Bia menyembunyikan tangannya dan hanya tersenyum pada Axel.

"Gak ada kak Axel, gak ada yang seperti itu. Kak Axel pikir Angkasa bakalan diam aja kalau ada yang bully aku," ucap Bia, Axel paham. Tentu saja Angkasa adalah pelindung garda terdepan milik Bia, dan siapa juga yang berani melawannya.

"Aku cuma merasa kalau hubungan kita itu gak pantas kak, aku hanya ingin seperti dulu," ucap Bia berusaha memberi pengertian pada Axel agar paham maksud perkataannya.

"Aku ingin semuanya kembali seperti dulu, aku yang tidak dikenal di sekolah, Kiki, Angkasa, aku ingin semuanya berjalan seperti dulu," batin Bia, meskipun dia bukan siswi yang pintar di sekolah, tapi Bia bisa peka dan menyadari kalau semua yang terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini berhubungan dengan kedatangan Axel di sampingnya.

"Baik, mari kita anggap tidak pernah ada hubungan yang terjalin diantara kita. Kamu bisa lari dari aku sekarang Bia, tapi aku benar-benar akan mengejar mu sekarang," Axel menatap Bia tepat pada netra matanya.

"Memang awalnya hanya permainan yang kamu ciptakan, tapi aku tidak ingin permainan ini terhenti. Biarkan aku yang memegang kendali sekarang, menghindar lah sebisa mungkin karena aku yang akan mengejar mu sekarang, sampai ke ujung dunia jika perlu," ucap Axel penuh dengan kesungguhan.

•••••
Haihaihai
Aku balik lagi 🐈
Yang baru mampir jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen 😻

See you chapter selanjutnya 😽

Nightmare ~17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang