Mobil berwarna putih terparkir di pinggir jalan di depan sebuah rumah minimalis. Lampu sorot dari mobil menyala, menandakan ada seseorang di dalam mobil tersebut. Sekarang sudah jam delapan malam, beberapa lampu jalan ada yang menyala ada juga yang tidak. Hujan baru berhenti, jalanan yang terkena lampu sorot terlihat masih basah.
Di dalam mobil, seorang perempuan sedang tidur bersandar di jok mobil. Tangannya terasa lembut digenggam oleh sosok laki-laki yang duduk di sebelahnya, bagian kemudi. Suara angin malam yang bertiup menerbangkan dedaunan, tidak mengusik dua orang yang ada di dalam mobil.
Axel, sedari tadi memandangi wajah Bia yang tampak damai dalam tidurnya, Bia yang sudah tidak lagi mengenalnya. Seulas senyum muncul di bibirnya yang tipis, bulu matanya yang lentik menyentuh bulu mata bagian bawahnya, Axel memejamkan mata sejenak.
Bia banyak berubah. Itu yang ada di dalam pikiran Axel saat melihat Bia pertama kali. Axel membuka matanya, melihat rambut Bia yang lurus, panjangnya hanya sebatas bahunya. Pandangan mata Axel tidak teralihkan dari wajah Bia yang mungkin sedang bermimpi, wajahnya tampak meringis sebelum dia membuka mata.
Saat membuka mata, orang pertama yang Bia lihat adalah Axel dengan mata berwarna abu-abunya, menatapnya. Pandangan mereka bertemu, Axel tersenyum melihat Bia yang diam. Angin kembali bertiup, lebih kencang dari yang tadi, suaranya juga terdengar lebih jelas.
Bia merapatkan jaket yang dikenakannya, kulitnya terasa dingin meskipun berada di dalam mobil. Suasana malam setelah hujan dengan angin yang bertiup kesana-kemari, tidak ada suara bising kendaraan. Terasa sejuk, dingin, dan tentram.
Bia menoleh ke luar jendela, sebuah rumah minimalis yang tampak gelap tanpa ada pencahayaan, itu rumahnya. Bia menghela napas, tanpa sengaja tangannya yang bertautan dengan tangan Axel dia genggam dengan erat membuat Axel mengernyit.
"Kenapa?" Axel bertanya, melihat Bia yang hanya menunduk. Axel yang memang sedari tadi memandangi Bia dapat melihat dengan jelas bagaimana Bia menoleh ke arah rumahnya berada, menghela nafas, kemudian mencengkeram erat tangan Axel yang menggenggamnya.
"Gak apa-apa kak, kenapa gak bilang kalau kita sudah sampai," Bia tidak bertanya, hanya seolah melemparkan pernyataan. Axel yang mendengar itu melepaskan tautan tangannya dari tangan Bia, memegang dagu Bia agar menoleh padanya.
"Tante Lili belum pulang?" Tanya Axel. Bia yang mendengar nama mamanya keluar dari mulut Axel tampak heran, dari mana Axel tahu nama sang mama. Namun, sedetik kemudian Bia paham. Sepertinya Angkasa dan Axel cukup dekat sehingga Axel bisa tahu nama mamanya, pasti Angkasa yang memberitahukannya.
"Belum, mungkin sebentar lagi," ucap Bia, kemudian melanjutkan kalimatnya "mungkin tiga hari lagi, atau lebih." Itu tidak diutarakan Bia pada Axel, hanya ada dalam pikirannya sendiri.
"Bia turun ya kak," Bia sudah membuka pintu mobil namun Axel menahannya, "Di sini saja dulu, tunggu Tante Lili datang," ucap Axel namun Bia menggeleng. Jika dia menunggu di sini sampai mamanya datang maka dia harus terus ada di sini selama tiga hari atau mungkin lebih.
"Gak apa-apa kak, aku bisa tunggu mama di dalam rumah," ucap Bia kemudian turun dari mobil, lalu kembali menutup pintu mobil. Axel ikut turun dari mobilnya, berjalan mendekati Bia.
"Kamu masuk duluan, baru aku pergi," Ucap Axel saat Bia menyuruhnya untuk pergi. Mendengar itu Bia mengangguk kemudian berjalan masuk ke halaman rumahnya. Saat sudah ada di depan pintu, Bia berbalik melihat Axel. "Kak Axel hati-hati di jalan," ucap Bia kemudian tersenyum dan melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam rumahnya.
Bia mengintip dari jendela, melihat mobil Axel yang sudah menjauh dari halaman rumahnya. Bia berjalan dalam kegelapan, Bia sudah hapal bagian-bagian dalam rumahnya jadi Bia tidak perlu lagi pencahayaan. Bia duduk di sofa ruang keluarga.
Bia membaringkan tubuhnya di sofa. Suasana malam yang dingin terasa mengikis kulitnya. Bia menyilang kan kedua tangannya di depan dada, seolah memeluk tubuhnya sendiri. Suara tetesan air hujan yang jatuh dari genteng menemaninya.
Bukannya sebuah ruang keluarga seperti ini seharusnya terasa hangat? Seharusnya di sini ada sebuah keluarga yang sedang duduk mengobrol, menonton tv, bercanda dan lain sebagainya. Bia memejamkan matanya, Bia hanya ingin di sini, di tempatnya berbaring sekarang ada sebuah keluarga yang berkumpul. Walaupun tidak ada dirinya, itu sudah cukup.
Masih asik berandai-andai di dalam pikirannya, Bia langsung bangun saat mendengar ketukan dari pintu juga seseorang yang memanggil namanya. "Bia?", "Bia, lo ada di dalam atau gak?" Itu suara Angkasa, Bia melangkah keluar untuk membuka pintu.
Saat pintu terbuka, Angkasa langsung menangkuap wajah Bia, dia tampak khawatir. "Lo gak apa-apa kan?" tanya Axel memperhatikan Bia, takut kalau Bia sampai terluka. Bia menggeleng, "Gak apa-apa, aku baik-baik saja," Bia menjawab tidak seperti biasanya yang menggunakan kata Lo gue.
"Kenapa gak kasih nyala lampu? Malah gelap-gelapan," cibir Angkasa kemudian melangkah masuk dan menekan saklar lampu, menyalakan lampu teras juga lampu di ruang tamu. Bia menutup pintu dan menguncinya, mengikuti Angkasa yang masuk dan menekan semua saklar lampu, hingga semu lampu menyala.
"Lo baru sampai?" Angkasa melihat Bia yang belum berganti pakaian. Sedangkan Bia mengangguk lalu menggeleng, "Sebenarnya udah dari tadi, tapi aku ketiduran," ucap Bia. Angkasa mengangguk mengerti, kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil mangkuk.
"Aku beli mie ayam, kayaknya enak dimakan setelah hujan begini," ucap Angkasa menyerahkan kantong kresek hitam pada Bia, juga mangkuk yang baru diambilnya.
Selagi Bia memindahkan mie ayam ke mangkuk, Angkasa berjalan keluar lalu kembali masuk dengan membawa sebuah gitar. Bia sudah selesai memindahkan mie ayam ke mangkuk kemudian menatap Angkasa, "Lo bawa gitar?" Tanya Bia yang sudah kembali mengucapkan Lo gue.
"Hm," ucap Angkasa lalu menyimpan gitar itu di atas sofa. Angkasa mengikuti Bia yang duduk di bawah, dua mangkuk mie ayam masing-masing ada di hadapan mereka. Di atas meja yang tingginya sebatas dada untuk ukuran tinggi Bia, saat mereka duduk di bawah.
"Gila enak banget, mie ayam kang Dedeng memang yang terbaik," ucap Angkasa menyantap mie ayamnya yang terlihat masih mengeluarkan asap, rasa panas dan pedas terasa pecah di mulutnya. Sedangkan Bia menggangguk setuju dengan kata-kata Angkasa, mie ayam kang Dedeng adalah mie ayam kesukaan mereka, bahkan mereka sudah berlangganan. Soal rasa tidak perlu lagi diragukan.
"Lo gak makan ayamnya?" Tanya Angkasa berniat mengambil ayam yang disisikan Bia untuk dimakan terakhir. Bia langsung memukul sendok Angkasa dengan sendok nya, Bia hanya bisa melotot pada Angkasa karena mulutnya penuh. Padahal Angkasa sudah tahu kalau Bia selalu menyusahkan ayamnya untuk dimakan terakhir, tapi Angkasa selalu saja menjahilinya.
Cukup lama mereka makan hingga selesai, Bia mengangkat dua mangkuk bekas makan mereka untuk dibawa ke dapur. Sedangkan Angkasa sudah bermain dengan gitarnya, memetik senar gitar dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menekan kunci d, a, f# dan g, bergantian. Belum benar-benar bermain, hanya memetik asalan.
"Mau gue nyanyiin gak?" Tanya Angkasa saat melihat Bia yang sudah kembali dari dapur. Bia duduk di sofa depan Angkasa, diam dan tampak berpikir. "Gue ikutan nyanyi deh," usul Bia, meskipun suaranya tidak bagus-bagus banget tapi, lumayanlah.
"Mau lagu apa?" Tanya Angkasa kembali. Sedangkan Bia kembali diam, memikirkan lagu yang kirannya bagus mereka nyanyikan saat ini. Bia membuka hpnya, mengetikan beberapa bait lagu di kolom pencarian karena lupa dengan judul lagunya.
"Lagu Diary Depresiku,"
•••••
Haihaihai 😸
Selamat Membaca, jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen 🐈Sampai jumpa lagi chapter selanjutnya 😽
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare ~17
Teen FictionTentang mimpi buruk yang tiba-tiba datang dalam hidup Bintang, menghadirkan segenap cerita yang pernah diimpikannya yang secara tidak kasat mata juga menghabisinya secara perlahan-lahan. "Aku lelah! Biarkan aku beristirahat, sejenak? Atau selamanya...